PENDEKATAN NORMATIF DALAM STUDI ISLAM DENGAN NASH AL-QUR’AN

 

PENDEKATAN NORMATIF DALAM STUDI ISLAM DENGAN NASH AL-QUR’AN

PENDEKATAN NORMATIF DALAM STUDI ISLAM DENGAN NASH AL-QUR’AN

Hertanti

59

Institut Agama Islam Negeri Metro

 

 Abstract

The more developed times and the more new problems in the realm of human life, then came the thought and belief of humans to continue to try to believe and understand religion in accordance with the development of the times. Therefore, there are a lot of approaches in believing and understanding the science of religion from the Qur'an and hadith. This method is very important in improving human understanding, namely what is called the Islamic methodology, especially those derived from the Qur'an. Islam is not only a matter of religion but one of them is a matter of method. The method that can be taken from the study of the Qur'an is the method of interpretation of the Qur'an. The method of interpretation of the Koran in general is divided into two parts, namely the Bil-Ma'tsur Interpretation and Bil-Ra'yu Tafsir. It is with these interpretations that makes Islam can embrace all the differences that have become habits or the reality of the social life of society. It would be better if you interpret some approaches so that Islam is more profound and become the answer to problems that often arise in human life and it would be better if interpreting Islam not only as a religion but interpreting Islam by expanding the space for Islam itself.

 

Abstrak

Seiring dengan kemajuan zaman dan semakin banyak pula masalah baru didalam ranah kehidupan manusia, maka muncul lah sebuah pemikiran dan kepercayaan manusia untuk terus berusaha meyakini dan memahami agama sesuai dengan berkembangnya zaman. Maka dari itu, banyak sekali pendekatan dalam meyakini dan memahami ilmu agama yang berasal dari al-Qur’an maupun hadits. Metode inilah yang sangat berperan penting dalam meningkatkan pemahaman manusia yaitu yang disebut dengan metodologi islam terutama yang berasal dari al-Qur’an. Islam bukan hanya soal agama tetapi salah satunya adalah soal metode. Metode yang bisa kita pelajari dari studi al-Qur’an yaitu metode penafsiran al-Qur’an. Metode penafsiran al-Qur’an umumnya telah dibagi menjadi dua bagian yakni terdiri dari Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bil-Ra’yu. Dengan tafsir-tafsir inilah yang menjadikan islam dapat merangkul semua perbedaan yang telah menjadi kebiasaan ataupun realitas dari kehidupan sosial masyarakat. Akan jauh lebih baik lagi jika memaknai beberapa pendekatan supaya islam lebih mendalam dan menjadi jawaban atas masalah yang sering muncul dikehidupan manusia dan akan lebih baik lagi jika memaknai islam tidak hanya sebagai agama tetapi memaknai islam dengan memperluas ruang gerak islam itu sendiri.

 

Kata Kunci : Islam, pendekatan normatif.

 

 

A.PENDAHULUAN

Dilihat dari pengalaman dunia luar, “studi islam” (islamic studies) merupakan contoh salah satu studi yang menjadi sorotan dunia terutama oleh ilmuan barat dan timur. Yang paling utama mereka yang telah membuat islam untuk dijadikan wacana kajian ilmiah (keilmuan). oleh karena itu, mereka terkenal dengan julukan islamolog bisa juga dikenal dengan islamisis. Jika digali lebih dalam, bisa disimpulkan bahwa keinginan terhadap studi islam mulai banyak terlihat sejak pertengahan ke dua abad ke-19.

Akhir-akhir ini, studi islam telah dijadikan salah satu pelajaran yang banyak disukai kalangan. Hal ini bisa diartikan bahwa studi islam telah memperoleh wadah dalam kancah dunia ilmu pengetahuan. Universitas luar tepatnya di Barat telah meresmikan tempat yang dijadikan terutama untuk mendiskursuskan studi islam dan difasilitasi oleh buku-buku dan jurnal-jurnal tentang keislaman yang sudah terbit. Salah satunya yaitu Mcgill University di Canada.

Disisi lain, banyak umat muslim yang mendapati sebuah masalah serius saat mengkaji islam. Salah satu problem yang muncul disini bukan terdapat pada sedikitnya penguasaan materi, tetapi masalah disini yaitu masalah metodologis, yakni masalah penyajian oleh materi yang sudah dipelajari. Oleh karena itu, Harun Nasution pernah berkata bahwa kekurangan banyak umat islam saat mengkaji islam secara komprehensif dikarenakan kurangnya menguasai metodologi. Pernyataan yang mirip juga dinyatakan oleh Safwan Idris yaitu adanya masalah metodologis dimasyarakat ilmiah islam saat sedang memaknai konteks yang digunakan saat dimensi normatif islam, saat mereka menduga itu jauh memacu kepada proses menyesuaikan al-Qur’an oleh kebutuhan dunia yang merendahkan, bukan kebalikannya.[1]

 

 

B.Pendekatan Normatif

Abuddin Nata berpendapat bahwa, studi islam dalam konteks pendekatan normatif yakni pendekatan yang bisa dilihat oleh agama melalui segi pembelajaran yang utama dan murni yang diwahyukan dari Tuhan dan isinya belum ada campur tangan serta belum ada pemikiran dari manusia.

Jika membahas tentang ajaran agama, pasti tidak akan menjauh dari pembahasan teologi ilmu ketuhanan, karena suatu pembelajaran mengenai agama akan dipercaya dan dikerjakan dengan keikhlsan dan ketulusan, tetapi kalau manusia itu telah yakin terhadap Tuhan yang sudah menurunkan ajaran itu sendiri.

Maka dari itu, agama memiliki ciri mengikat dengan semua yang meyakininya, maka pembelajaran moral agama lebih banyak serta terdapat pengaruhnya dari pembelajaran moral yang bersumber dari falsafah dan pemikiran manusia. Pembelajaran yang telah diturunkan serta diwahyukan oleh Tuhan Pencipta Alam Semesta memiliki sifat kekudusan dan absolut yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Perintah manusia masih dapat dilanggar, tetapi perintah Tuhan tidak dapat dilanggar. Pemikiran inilah yang menjadikan norma-norma akhlak yang dianut agama memiliki akibat yang besar dalam membimbing manusia yang bersikap baik dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu, kita menemukan banyak seorang Filosof berubah alih menjadi Fukaha dan bahkan menjadi sufi.

Ciri-ciri pengajaran agama islam sering dikenal sebagai konsepsi dalam bidang ibadah. Yang diperluas oleh teologi Tawhidiyah. Sumber ataupun asal yang paling utama dari ajaran agama islam yaitu al-Qur’an dan al-sunnah. Ibadah dikelompokkan menjadi dua, yaitu umum dan khusus. Ibadah yang menjadi pendekatan yaitu ibadah dalam lingkup khusus. Dalam Yurisprudensi islam sudah ditetapkan bahwa dalam kaitannya dengan urusan ibadah tidak diperbolehkan terdapat “kreatifitas”, oleh sebab itu yang meng ”create” atau mengubah suatu bentuk ibadah dalam islam dicap sebagai bid’ah yang di azab nabi sebagai kesesatan.

Keaslian yang terdapat didalam ajaran islam pasti menjadi tolak ukur yang paling utama untuk menunjukan identitas dan seperti apa ajaran islam itu. Pendekatan normatif berusaha mendalami agama dengan cara memakai kerangka ilmu ketuhanan yang berbeda paham yaitu menggap bahwa suatu agama dianggap yang sudah benar dibandingkan dengan agama lain, tidak ada kelemahan sedikitpun dan selalu bersikap tenang. Pendekatan normatif memiliki wawasan yang lebih luas lagi. Karenanya semua pendekatan yang telah dipakai oleh ahli usul fiqih (Usbuliyah), ahli hukum islam (Fuqaha), ahli tafsir (mufassirin) dengan giat mencari aspek resmi dan ajaran islam dari asalnya yaitu termasuk kedalam pendekatan normatif.

 

 

 

Ø  Pendekatan Normatif atau Keagamaan dibagi menjadi 3 yaitu :

1.Pendekatan Misionaris Tradisional

Pendekatan ini dibentuk dan dapat dipergunakan pada abad ke-19 waktu ramai-ramainya kegiatan misionaris di sekumpulan gereja dan sekte kristen dalam rangka mensinyali perkembangan pengaruh politik, ekonomi dan militer negara Eropa diantaranya bagian Asian dan Afrika. Semua misionaris berempati ingin mengetahui dan mengkaji islam dengan tujuan untuk tidak mempersulit agar meng-kristen-kan orang beragama lain (proselytizing). Metode yang dipakai adalah komperatif yaitu diantara kepercayaan islam dengan kepercayaan kristen yang nantinya akan merugikan islam. Kita harus mengetahui bahwa rencana apa yang dilakukan semua misionaris adalah sebagai suatu rencana utama untuk pertumbuhan ilmu islam.

2.Pendekatan Apologetik

Sifat dan karakteristik pemahaman umat muslim abad ke-20 yaitu Pendekatan Apologetik. Pendekatan Apologetik berasal dari tindakan umat islam kepada keadaan yang modern. Diajukan pada keadaan modern, islam diketahui sebagai agama yang tepat dengan modernitas, kebudayaan agama seperti kebudayaan luar yaitu Barat. Pendekatan Apologetik adalah sebagai cara untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat kepada dunia modern dengan berkata bahwa islam dapat menggiring umat islam masuk kedalam abad baru yang lebih terang dan modern. Ide pokok inilah yang membuat konsentrasi kajian para penulis buku dari berbagai islam maupun Barat. Peran semua pengkaji islam oleh pendekatan Apologetik tersebut yaitu memunculkan pemikiran tentang data diri baru oleh islam untuk penerus islam. Dan terciptanya rasa bangga yang lebih untuk mereka. Penelitian Apologetik ini telah mampu melahirkan ataupun memunculkan kembali beberapa bagian sejarah. Dan kesuksesan islam yang sebelumnya pernah tertinggalkan dimasyarakat hasilnya bisa terlihat oleh banyaknya kegiatan penelitian dan karya tulis yang mengedepankan para peninggalan kecerdasan kultural, dan agama islam sendiri.

Sama halnya misionaris yang berminat meneliti islam lebih jauh lagi, gerakan apologetik ini mempunyai berbagai ciri-ciri. Maka dari itu, apologetik lebih teliti pada cara menunjukan islam dalam penampilan yang baik, maka mereka akan terjerumus dalam ketidakbenaran karena tidak memperbaiki ataupun memperdalam nilai keilmuan. Pendekatan Apologetik sering menghasilkan sumber yang berisi ketidakbenaran dalam bentuk distorsi, selektifitas dan pernyataan yang berlebihan dalam memakai bukti, juga pernah menunjukan sisi romantisme sejarah serta kesuksesan umat islam dan ketidakbenaran saat melaksanakan analisis perbandingan juga didukung oleh sifat ataupun ciri tendensius. Ketidakberhasilan para apologis muslim modern yaitu melaksanakan penelitian islam dengan motif dan bermaksud untuk memperkuat diri dan tidak bermaksud untuk ilmiah.

3.Pendekatan Irenic (simpatik)

Pada saat perang dunia II sudah muncul gerakan yang tidak sama di dunia Barat yang digantikan oleh kelompok agama dan Universitas. Gerakan itu bertujuan untuk memberi penghargaan amat besar oleh keberagamaan islam dan merawat kebiasaan baru kepada islam. Sikap yang dilakukan tersebut dalam upaya menghapus kebiasaan buruk di kalangan Barat Kristen seperti prasangka, perlawanan dan meremehkan terhadap tradisi islam. Pada saat yang beriringan terjadi percakapan denangan orang islam dengan keinginan mampu menciptakan jalan keluar bagi terciptanya kebiasaan atau sikap saling mengasihi antara kebiasaan agama dan bangsa. Pendekatan ini masih mendapat perbaikan dari kalangan intelektual. Mereka dihadapkan kesusahan amat besar dalam menjaga tali hubungan dengan orang islam dikarenakan ketidakpercayaan dikalangan muslim pada masa lalu.

Salah satu contoh pendekatan irenic dalam studi pembelajaran islam adalah karya dari Kenneth Cragg. Berdasarkan dari karya yang ia tulis, Cragg menampilkan berbagai unsur kecantikan dan nilai keberagamaan yang mendasari kebiasaan islam terhadap Kristen Barat dan yang wajib dilakukan orang Kristen yaitu terbuka ataupun menerima segala hal. Cragg dapat melukiskan bahwa islam menyimak banyak masalah dan isu yang mendasar menurut umat Kristen. Maksud utama amanat dari Cragg yaitu arti dari iman islam adalah terlaksana dalam pengalaman Kristani. Tetapi, dalam penjabaran akhirnya, Cragg masih terpedaya kepercayaan kristennya, bahkan beliau berkata bahwa umat islam wajib pindah menjadi agama Kristen dan hanya dengan cara begitu, umat islam berubah menjadi islam keseluruhan. Peran serta karya Cragg adalah sangat berguna untuk membasmi pemikiran buruk kepada islam yang tersebar luas di kalangan Barat.[2]

 

 

C.Profil Islam dalam Pendekatan Normatif

Saat melaksanakan pendekatan serta penelitian studi islam membutuhkan banyak macam pendekatan. Maka dari itu, saat melaksanakan pembelajaran ataupun pengkajian dibutuhkan secara terperinci tentang islam bagian mana yang akan dikaji tetapi berbeda dengan pendekatan normatif. Pendekatan normatif yaitu studi islam yang melihat suatu permasalahannya dari sisi resminya atau normatifnya. Yang dimaksud resmi disini adalah kaitannya dengan halal haram, boleh atau tidak, dan semacamnya. Sedangkan normatifnya yaitu semua ajaran yang tercantum pada nash.

Abuddin Nata menyimpulkan pernyataan dari Amin Abdullah dan berkata, yaitu normatif berhubungan erat oleh teologi, sesuatu apapun pasti akan menuju pada agama tertentu. Kesetiaan kepada anggota atau kelompok sendiri, kepercayaan dan pengorbanan waktu yang besar dan memakai bahasa secara subyektif, yaitu bahasa sebagai pelaku utama, bukan sebagai pengamat yaitu yang merupakan karakter yang sudah terdapat dalam bentuk pemikiran teologis.

Sejalan oleh pendapat dari Amin Abdullah, Mukti Ali juga berpendapat bahwa mempelajari agama dengan pendekatan normatif nyatanya bukanlah sebuah masalah, sebab pendekatan yang berasal dari agama kepada suatu hal masalah pasti bersifat normatif, dipandang dan ditentukan dari segi doktrin agama. Akan tetapi didalam pembalajaran materi-materi agama akan terpandang disisi gejala kemandekannya.

Menurut agama islam, secara tradisional, pasti ditemui teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Banyak sekali pembelajaran agama dan pemahamannya tetapi tidak mudah begitu saja untuk menyatukannya. Masing-masing mempunyai “kepercayaan” teologi yang susah untuk dikomunikasikan. Bahkan seringkali jalan dari sebuah perbedaan tentang pemahaman agama yang mengarah pada perlakuan yang kurang baik.

Tindakan suatu agama yang berasal dari banyak aliran pemahaman tersebut lebih diutamakan oleh semangat dan kepentingan suatu agama ataupun golongan tertentu. Dan jika ingin mengetahui islam lebih dalam atau keyakinan-keyakinan lain yang bersifat lebih normatif, yaitu dilihat dari suatu tulisan ataupun teks yang sudah tertulis didalam kitab suci agama yang bermotifkan literal, tekstual dan absolut. Akibatnya diantara aliran satu dengan aliran yang lainnya akan muncul masalah “fanatisme” yaitu hanya kepercayannya lah yang disebut-sebut paling benar sedangkan yang lainnya salah. Bahkan mereka menyebut paham yang lain itu sudah sangat salah, keliru, sesat, kafir, murtad, dan cap-cap negatif lainnya. Dan pula kepercayaan yang dituduhkan juga pasti akan melakukan pembalasan dengan hal yang sama.

Seperti inilah yang diartikan dengan agama bisa menjadi awal dari sebuah permasalahan yang akan terjadi nantinya. Bukan agamanya yang tidak baik saat menjawab permasalahan masyarakat, tetapi faktor dari manusianya lah yang salah mengartikan dan memahami maksud dari agama tersebut. Agama yang seharusnya menjadi awal kerukunan dan pemersatu umat tetapi malah justru berbalik menjadi alat yang menimbulkan perpecahan bagi golongan-golongan masyarakat yang sedang bertengkar ataupun berdebat baik dalam ranah politik, budaya, ekonomi dan pembicaraan lain yang dikaitkan dengan agama.

Menurut pendapat para sarjana, terutama para sarjana-sarjana modern (terutama kalangan ilmuwan sosial) menjelaskan bahwa islam normatif ini adalah syari’ah. Meskipun begitu, tidak dapat disangkal lagi bahwa syari’ah hanya bercirikan bentukan (derivative status), terutama dalam konsep dan isinya. Oleh kerenanya, ia adalah produk historis para ahli atau peneliti teologi hukum. Ia diresmikan sebagai dedukasi dari al-Qur’an dan sunnah. Justru sebagian sarjana bahkan melihat islam normatif yaitu islam dari kaum muslim dan sebagian muslim terpelajar dilihat sebagai “islam yang sesuai”.

Melihat hal ini Amin Abdullah berkata yaitu kesediaan untuk menerima keberagaman agama-agama didunia adalah kenyataan atau fakta dikehidupan dunia ini tidak bisa ditolak dan harus diterima oleh siapapun orangnya. Secara praktis-realistis bukan secara teologi-ekslusif sudah bukan pada kapasitasnya lagi pada era keterbukaan dan globalisasi dunia seperti saat ini hanya untuk menegaskan keberagaman pada diri sendiri tetapi tidak ingin tahu dan tidak peduli dengan keberagaman orang lain.

Saat melihat perluasan wilayah ataupun daerah pemahaman dan penghayatan keagamaan, yang antara lain diakibatkan oleh transparannya penghubung-penghubung budaya sebagai akibat meluapnya sinyal informasi didalam era ilmu dan teknologi, masyarakat indonesia (khususnya) dan masyarakat dunia (umumnya) memerlukan saran-saran dari penelitian keagamaan yang baru yang tidak terus menerus bersifat “teologis-normatif”.

Ian G. Barbour dimana yang telah dikutip oleh Amin Abdullah berkata, penyusunan struktur fundamental bangunan pemikiran normatif seringkali berkaitan kuat dengan karakteristik seperti; kecondongan dalam mengutamakan kesetiaan kepada golongan sendiri sangat kuat. Adanya keterlibatan diri sendiri atau pribadi (involvement) dan penghayatan yang terlalu dalam kepada ajaran-ajaran teologi yang sangat dipercaya keasliannya, mengungkapkan isi hatinya dan hasil pemikiran dengan bahasa aktor (pelaku) serta bukan bahasa pengamat (spectator). Terkumpulnya 3 sikap ini akan menimbulkan sikap teologi yang ekslusif, emosional, dan kaku.

Saat melihat banyak pengulangan terhadap materi islam dengan pengelihatan normatif diatas, dapat diartikan bahwa memahami islam oleh pendekatan normatif mempunyai akibat dari sisi positif dan negatif. Sisi positif diantaranya; seseorang akan mempunyai kepercayaan beragama yang tinggi (berpegang kuat terhadap agama yang dipercaya sebagai yang benar), memperlama ajaran agama, membentuk karakter pemeluknya dalam acara membangun masyarakat yang sempurna berdasarkan pesan dari agama. Adapun sisi negatif dari memahami islam dengan pendekatan normatif yaitu tertanamnya sifat ekslusif, dogmatis, kaku dan lebih condong tidak mau mengakui kebenaran orang lain.

Jadi, islam normatif yaitu islam yang dalam penelitiannya atau mengerti agama lebih diutamakan oleh semangat dan kepentingan agama. Islam yang benar yaitu islam menurut teks yang telah tertulis didalam kitab suci agama yang bercorak literal, tekstual, dan absolut.

Bisa juga dapat diartikan, islam normatif yaitu islam yang memakai pola pikir deduktif, yaitu proses berfikir yang didasari dari kepercayaan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajarannya berasal dari Tuhan (sudah pasti benar), sehimgga tidak perlu ditanyakan lebih awal, melainkan dimulai dari kepercayaan yang nantinya diperjelas dan diperkuat dengan bukti dalil-dalil dan pendapat.[3]

 

 

D.Penerapan Pendekatan Normatif dalam Nash al-Qur’an

Penerapan pendekatan normatif dalam ajaran islam pasti dijumpai pada pengertian tentang nash al-Qur’an. Pada waktu mempelajari nash al-Qur’an akan ditemui beberapa teori yang sudah terkenal yang dapat dipakai oleh pendekatan normatif, selain teori-teori yang dipakai oleh fuqoha’, ushuliyyin, muadditsin dan mufassirin, antara lan yaitu teori teologis-filosofis, yakni pendekatan yang mengerti al-Qur’an dengan cara memberi pemahaman secara logis-filosofis, yaitu mencari nilai-nilai objektif dari subjektifitas al-Qur’an.

Teori yang lain yaitu normatif-sosiologis atau sosio-teologis, sebagaimana yang telah diberikan Asghar Ali Engerineer dan Tahir al-Haddad, yaitu saat mempelajari nash ada sekat antara nash normatif dengan nash sosiologis. Nash normatif yaitu nash yang tidak bergantung pada konteks. Sedangkan nash sosiologis yaitu nash yang isi pengertiannya harus disetarakan dengan konteks, waktu, tempat, dan konteks lainnya.

Masih berkaitan dengan pengertian nash al-Qur’an, Izzat Darwaza sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin mengungkapkan, al-Qur’an pada hakikatnya terdiri dari dua hal penting, yakni:

1.Prinsip fundamental

2.Alat atau sebagai jembatan untuk tercapainya prinsip-prinsip fundamental tersebut.

Prinsip-prinsip diatas termasuk prinsip yang sangat utama sebab di dalamnya terdapat tujuan wahyu dan dakwah nabi. Hal-hal yang termasuk ke dalam prinsip tersebut yaitu menyembah Allah dan harus mempersiapkan kode etik (norma) yang lengkap tentang perbuatan-perbuatan (syari’ah). Terlebih seperti janji-janji Allah akan memberi balasan perbuatan baik di akhirat dan akan menyiksa orang jahat, sejarah nabi dan sejenisnya yaitu sebagai jalan penghubung agar tercapainya hal yang prinsip tersebut.

Contoh pendekatan normatif di dalam kehidupan yang sesungguhnya di era sekarang ini seperti peringatan “Maulidan”, yaitu sebuah acara untuk memperingati dan untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad saw. Yang dilaksanakan dengan banyak cara yang berbeda antara kelompok satu dengan kolompok lainnya. Hampir setiap tahunnya acara peringatan ini disambut dibermacam-macam daerah diindonesia, bahkan sampai ke dunia. Untuk isi acaranya antara satu daerah dengan daerah lainnya banyak yang berbeda, ada yang hanya membaca manaqib, al-Barzanji, sampai pemeriahan yang dilakukan seperti perlombaan memeriahkan hari kemerdekaan negara tanggal 17 Agustus.

Sampai sekarang ini, mengenai acara untuk memeriahkan tersebut masih menjadi pembahasan keagamaan yang menjadi bahan pembicaraan dalam tiap tahunnya, saat bulan Rabi’ul Awal tepatnya. Tidak cukup sampai disitu saja, akibat dari perbedaan pemahaman tentang boleh tidaknya memperingati acara “maulidan” tersebut bahkan sampai kepada titik saling mengklaim “benar” dan “salah” atau “bid’ah”.

Mahrus Ali menyalin dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz (pernah menjadi ketua majelis ulama’ besar Saudi dan mufti Makkah) mengemukakan bahwa peringatan maulid sekalipun itu maulid Nabi semuanya adalah bid’ah, kemungkaran, dibuat-buat oleh manusia dan tidak terdapat pada masa Nabi, para sahabat ataupun di abad-abad yang paling utama. Menurut pendapatnya pemeriahan seperti yang dilakukan ini yakni bagian dari tasyabbuh dengan kebudayaan Nasrani dan juga Yahudi untuk memeriahkan hari-hari besar mereka, meskipun banyak sekali orang yang merayakannya, ia mengungkapkan bahwa tolak ukur kebenaran bukan dilihat dari bagaimana dan banyaknya orang yang mendukung acara tersebut, tetapi apakah ada bukti dalil-dalil dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang menerangkannya.

Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz dalam mengungkapkan ketegasannya kepada hukum bid’ah yang menyesatkan pada saat peringatan maulid Nabi merupakan contoh penerapan dari pendekatan normatif saat mempelajari agama islam. Sebabnya ia menjunjung pendapatnya dengan memberi landasan pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Perayaan maulid Nabi saw. Itu tidak dapat ditemui baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam dua skrip utama agama islam tersebut.

Benar-benar memahami serta mempelajari islam secara normatif berarti menggali, memahami, menghayati, dan mengamalkan amanat-amanat islam yang berasal dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Olehkarena itu, segala sesuatu hal baik yang berisi tentang ritual keagamaan ataupun tidak yang tidak berlandaskan dari dua referensi utama tersebut dianggap menyalahi ajaran islam yang sesungguhnya.

Dengan mempelajari pemahaman diatas, tidak boleh dikatakan salah mengerti agama dengan mempergunakan pendekatan normatif. Karena normatifitas agama akan mengedepankan masyarakat untuk selalu berpegang kuat pada nilai-nilai universal yang terdapat pada agamanya. Dan juga memberikan solusi kepada setiap apapun masalah yang muncul di ruang lingkup masyarakat hanya dengan cara memakai pendekatan normatif juga tidak boleh dibenarkan. Sebab, paradigma normatif yang berisikan tentang doktrin ketat yang mewajibkan agama muncul sebagai kekuatan absolut dapat membuat gesekan antar golongan atau organisasi masyarakat. Selain itu juga, dibutuhkan pendekatan lain seperti pendekatan sosial. Dengan pendekatan ini agama akan berkembang sebagai agama yang berjalan dinamis dan menerima terhadap perbedaan yang sudah menjadi realitas masyarakat indonesia.[4]

Pendekatan normatif dalam studi islam pasti memberikan banyak manfaat seperti dapat mengarahkan kaum Muslim tentang bagaimana menjadi seorang Muslim yang baik. Tetapi pendekatan ini mempunyai kekurangan. Salah satu kekurangan pendekatan normatif yaitu hanya melihat agama islam sebagai agama yang sudah pati benar dan paling benar, sehingga dapat membuat seorang Muslim untuk terjerat kedalam kepuasan batin dengan tidak memperdulikan realitas sosial dan sejarah.

Dilihat dari kekurangan itu, pendekatan normatif saja dinilai tidak cukup untuk meneliti islam, apalagi jika di PTAI, yang merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai tiga karakteristik utama, yakni; pendidikan, penelitian, dan pengabdian terhadap masyarakat. Pastinya agar terwujudnya tiga ciri tersebut tidak cukup dengan pendekatan normatif saja.

 

 

 

Ø  Pendidikan Agama dalam Islam

Pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang bisa berkembang dengan cepat dan tanggap dalam mengartikan hidup dan lingkungannya. Dengan mempunyai kelebihan alamiah untuk selalu menggali kebaikan, kebenaran, dan keindahan manusia yang akan selalu tetap berjuang dan berusaha dalam membangun kehidupan seterusnya yang lebih baik lagi. Melewati proses perubahan itu, manusia dapat menjalani proses kehidupannya menjadi lebih baik dan bersikap saling menghargai yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban kepada yang Maha Pencipta. Dengan beberapa kecerdasan ataupun kelebihan (multiple intelligence) yang telah dihidayahkan tuhan kepada manusia sebagai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang. Tetapi, manusia juga dapat melakukan ataupun bertindak hal-hal negatif. Jika dilihat dari sisi negatifnya, Sigmund Freud menyatakan bahwa manusia dari sisi buruknya yaitu manusia yang berkemungkinan besar bertindak ataupun melakukan hal-hal jahat dan dapat membahayakan manusia lainnya. Bahkan sisi buruk manusia ini di dalam al-Qur’an bisa menyamai keadaannya seperti hewan bahkan bisa lebih rendah lagi darinya.

Berdasarkan alasan tersebut, maka manusia harus selalu di periksa dan diajarkan, diarahkan dengan sebaik mungkin supaya menjadi manusia baik yang sebenar-benarnya. Pendidikan agama mempunyai peran yang sangat penting, yang dimaksud adalah  pendidikan agama harus lebih di utamakan dan dikedepankan untuk menunjang dan memfasilitasi proses ataupun cara berkembangnya beberapa kecerdasan tersebut supaya siswa yang diajarkan ataupun dididik menjadi manusia yang bertanggung jawab dan amanah dalam menyampaikan ataupun menerapkan nilai-nilai keyakinan dan bersikap lebih baik dan saling menghormati.

Beberapa permaslahan keagamaan yang terus sering terjadi baru-baru ini, sebetulnya tidak jauh dari permasalahan agama. Berarti kita dapat menyimpulkan bahwa proses mengajarkan siswa hanya berupa pengetahuan saja, dan tidak termasuk mencakup kedalam moral, prilaku maupun etika dalam bersikap. Hal ini mirip dengan yang telah diungkapkan oleh Agus Salim, yakni masalah dalam pembelajaran yaitu sedikitnya atau kurangnya pemahaman atau pengetahuan lebih dalam tentang nilai-nilai agama. Maka untuk mencari jawaban atas permasalahan tersebut selain pendekatan yang selama ini telah dicoba untuk dilakukan seperti, perbaikan dan penyesuaian kurikulum, juga dibutuhkan saran dan solusi cadangan yang lebih utama bersifat menyadarkan dan memahami kembali secara komprehensif arti dan penerapan inti pelajaran agama dan cara beragama yang sesuai kaedah baik dan benar.

 

Ø  Tinjauan Normatif dalam Pendidikan Islam

Ada empat yang paling penting yang dilihat sebagai dasar tinjauan normatif pendidikan islam multikultural, terutama dibidang keagamaan, yakni 1) kesatuan mencakup aspek ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu); 2) kesatuan kenabian; 3) tidak ada paksaan apapun dalam beragama; 4) pengakuan kepada eksistensi agama lain. Semua ini disebut normatif sebab sudah merupakan ketetapan Tuhan.[5]

Untuk memahami pendidikan islam secara benar dan gamblang, Nasruddin Razak dalam buku Abuddin Nata menjelaskan empat cara :

1.      Islam wajib dimengerti dan dipahami hanya yang berasal dari sumber asli, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah. Kesalahan dalam memahami islam, itu disebabkan karena mereka hanya mengetahuinya dari sebagian ulama saja dan pemeluknya ataupun pengikutnya yang sudah pergi jauh dari bimbingan al-Qur’an dan al-Sunnah, atau bisa juga dengan cara pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqih dan tasawuf yang hakekatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan pada zaman sekarang.

2.      Islam harus dan wajib dipelajari secara menyeluruh artinya disini tidak setengah-setengah karena sebagai satu kesatuan yang bulat tidak secara sebagian saja dan tidak dengan cara persial karena akan membahayakan, menimbulkan skepting, bimbang dan penuh keraguan.

3.      Islam wajib dikaji dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama dan sarjana-sarjana peneliti islam, sebab pada dasarnya mereka mempunyai pengetahuan serta penerapan islam yang baik, yaitu pengetahuan dan pemahaman yang muncul dari campuran ilmu yang dalam kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dengan penerapan yang baik dari praktik dan kegiatan ibadah yang dilakukan setiap harinya.

4.      Islam sebaiknya dipelajari, dimengerti, dan dipahami dari berlakunya normatif teologis yang terdapat pada al-Qur’an, lalu disambungkan kepada kenyataan historis, empiris, sosiologis yang sudah ada dalam masyarakat. Oleh cara yang sedemikian rupa, akhirnya bisa dilihat tingkat keserasian atau kesenjangan antara islam yang berada pada dataran normatif teologis yang tertuang pada al-Qur’an dengan islam yang ada pada dataran historis, sosiologis, dan empiris.[6]

Pendekatan normatif didalam pendidikan Islam pasti memberikan banyak sekali manfaat seperti dapat menunjukkan dan membimbing kaum Muslim tentang cara menjadi Muslim yang baik. Tetapi pendekatan ini juga memiliki kekurangan. Salah satu kekurangan pendekatan normatif, menurut pendapat Azra yaitu lebih kepada cara memandang agama islam sebagai agama yang pas, yang dapat membuat seorang Muslim untuk terjerat kepada kepuasan spiritual dengan tidak memperdulikan realitas sosial dan sejarah.

Dilihat dari kekurangan itu, pendekatan normatif saja dinilai kurang untuk meneliti islam, apalagi jika di PTAI, yang merupakan lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai tiga karakteristik utama, yakni; penddikan, penelitian, dan pengabdian terhadap masyarakat. Pastinya agar terwujudnya tiga ciri tersebut tidak cukup dengan pendekatan normatif saja.

Pendekatan normatif yang terdapat dalam penelitian islam menghasilkan pendangan serba idealistik kepada islam, dengan seiring berkembangnya zaman membuat para kaum Muslimin meninggalkan dan melupakan kenyataan yang sebenarnya. Maka dari itu, sering menyebabkan mereka akan terperangkap pada “kepuasan batin” yang semu.[7]

Dalam bahasa terdapat tiga macam bidang kajian dan wacana. Pertama, ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menerangkan bagaimana objek pemikiran yang bersifat metafisi, terutama berisi tentang Tuhan. Kedua, bahasa kitab suci terutama bahasa yang ada di dalam kandungan isi al-Qur’an, dan ketiga, bahasa ritual keagamaan. Jadi, pendidikan dalam islam normatif harus berasaskan bahasa yang terdapat dalam bidang kajian diatas, dan tidak boleh memakai bahasa yang keluar dari tatacara yang sudah tercantum dalam agama islam.[8]

Pendekatan teologi dalam mengerti dan memahami agama lebih cenderung bersikap tertutup, tidak ada percakapan, parsial, saling menyalahkan satu sama lain, saling mengkafirkan, tidak mau saling diskusi dan kerjasama, dan tidak nampak adanya rasa peduli antara satu dengan yang lain. Dengan pendekatan ini agama sepertinya hanya sebagai kepercayaan dan pembentukan sikap dan tingkah laku keras serta nampak asosial. Agama menjadi tidak bisa melihat terhadap masalah-masalah sosial dan lebih cenderung menjadi identitas yang tidak mempunyai arti. Hal ini disebabkan karena mereka tidak mau menerima kebenaran orang lan dan selalu menanggap dirinya lah yang paling benar. Inilah kekurangan dari pendekatan teologi. Maka dari itu, inilah yang seharusnya menjadi tugas para theolog dari berbagai macam agama dan intern agama untuk menghilangkan dan memperkecil kecenderungan tersebut dengan cara mengajarkan kembali khazanah pemikiran teologi mereka untuk lebih bersikap baik antar umat dan bisa saling bertoleransi antar umat beragama. Cara alternatif lain yaitu dengan melengkapi ataupun menambah dengan pendekatan lainnya seperti pendekatan sosiologi. Karena mempunyai kelebihan yaitu seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama. [9]

 

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia saja, islam itu adalah agama yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW, yang selalu berpaku maupun berpedoman kepada kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan kedunia dengan melalui wahyu Allah SWT. Sama halnya dengan pendekatan normatif dalam konteks nash al-Qur’an yang selalu berpegang teguh dan berpedoman dengan al-Qur’an.[10]

Tujuan diadakannya penelitian dan kajian studi islam yaitu untuk menarik perhatian dan supaya banyak yang melirik pada satu sisi. Sedangkan pada sisi lain yaitu karena motif intelektual (kecerdasan). Dengan berbagai macam motif pula akan berbeda-beda hasilnya, tergantung pendekatan yang akan digunakan atau dipakai oleh para peneliti.[11]

Secara sederhana bisa diketahui bahwa jika kita melihat dari segi normatif sebagaimana yang telah ada didalam kitab al-Qur’an dan hadits, islam adalah agama yang tidak memaksa atau tidak diberlakukan paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma analisis kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwasanya sebagai agama, islam lebih utama bersifat memihak, romantis, apologis, dan subjektif. Banyak sekali perbedaan dalam melihat islam tergantung dari mana kita memandang. Ketika islam dilihat dari segi normatif, maka islam adalah agama yang didalamnya berisikan tentang ajaran Tuhan yang saling terkait dengan urusan akidah dan mu’amalah.[12]

Saat berbicara tentang ilmu hukum normatif yang disebut Ilmu Hukum Praktikal atau Ilmu Hukum Dogmatik. Ilmu hukum praktikal atau ilmu hukum dogmatik (ilmu hukum normatif) yaitu pengembanan hukum teoretikal yang terlaksana saat kegiatan intelektual berupa memaparkan, menganalisis, mengurutkan dan menginterpretasi hukum positif yang berlaku. Tujuannya yaitu untuk terlaksananya penerapan dan pelaksanaan hukum didalam praktek seperti saat mengkaji ataupun meneliti tentang pendekatan normatif yang dilakukan secara lebih bertanggungjawab. Ilmu hukum ini bersifat nasional. Pendekatan ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empirik adalah dua sisi pendekatan yang saling mengisi, hal ini disebabkan karena titik utama perhatian ilmu hukum normatif yaitu hukum yang berlaku sebagai sistem keharusan untuk mengatur dunia kenyataan kemasyarakatan.[13]

Pendekatan normatif dapat dilihat sebagai kebalikan pendekatan saintik yang bisa dipandang sebagai pendekatan yang saling melengkapi. Pendekatan normatif sangat cocok jika diterapkan pada pembelajaran serta pembahasan Aqidah Akhlak yang isinya menyuruh kita untuk dijelaskan secara normatif, dogmatis, apa adanya, atau secara tekstual. Penerapan pendekatan normatif dalam proses pembelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Ibtidaiyah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, telah memperhatikan sinyal yang direkomendasikan oleh permendikbud nomor 103 tahun 2014 tentang pelaksanaan proses pembelajaran.[14]

Pendekatan normatif dalam studi al-Qur’an memiliki banyak contoh diantaranya al-Qur’an dijadikan sebagai pembeda antara laki-laki dan wanita. Perbedaan jenis kelamin ini mempunyai berbagai akibat terhadap hukum syari’ah. Perbedaan ini masuk keperbedaan yang lain mengenai letak posisi wanita ditengah masyarakat. Perbedaan ini berawal dari perbedaan pemahaman terhadap ayat al-Qur’an (al-Nisa’/4: 1). Ulama-ulama terdahulu memberitahu bahwa wanita diciptakan dari jenis yang sama dengan laki-laki. Alasan kedua yang terdapat dalam hadits Nabi yang mengungkapkan bahwa “wanita diciptakan dari tulang rusuk seorang laki-laki (Adam)”.

Dalam masalah kepemimpinan al-Qur’an yang membedakan antara laki-laki dan perempuan yaitu dengan cara mengutamakan laki-laki sebagai kepala keluarga atau pemimpin keluarga tetapi tidak menutup kemungkinan bagi seorang perempuan juga untuk tetap memiliki tugas yang sangat mulia yaitu menjadi seorang ibu dan istri. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan bertujuan supaya mereka saling melengkapi. Hal yang lebih penting dalam masalah ini yaitu bagaimana mewujudkan prinsip-prinsip agama dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan.[15]

Bidang kajian dalam islam salah satunya yaitu al-Qur’an. Studi al-Qur’an yang dilaksanakan oleh sarjana Barat pada awalnya terfokus pada masalah-masalah kritis yang mengelilingi kitab suci orang islam ini. Permasalahannya seperti pembentukan teks al-Qur’an, urutan cerita turunnya al-Qur’an, sejarah teks, variasi bacaan, hubungan antara kitab al-Qur’an dengan kitab-kitab sebelumnya. Kebanyakan karya dalam masalah itu dilaksanakan oleh sarjana abad 19, yang paling penting dan utama adalah Theodor Noldeke. Kajian ataupun penelitian kritis kepada al-Qur’an yakni dilaksanakannya oleh segolongan sarjana luar yaitu jerman bekerjasama dengan sarjana lain. Izutsu memakai metode analisis semantik yang sangat canggih yang bisa memperluas makna huruf-huruf dan konsep kunci dalam teks al-Qur’an secara menyeluruh.[16]

Apapun kegiatan yang dilakukan manusia pasti sudah memiliki tujuan masing-masing, jika manusia tersebut tidak memiliki tujuan hidup maka akan sia-sia lah segala kegiatan yang mereka lakukan. Hal ini sesuai dengan firmal Allah  yang tercantum dalam al-Qur’an yang artinya “padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus...” jadi, sesorang yang mengerti akan kemampuan yang dimiliki dirinya tidak akan mau melakukan kegiatan yang sia-sia karena semua yang dilakukan oleh mereka baik berfikir maupun bertindak harus membawa kepada kebaikan sehingga kualitas dirinya akan meningkat.

Pendidikan islam yang pastinya diajarkan dalam al-Qur’an bertujuan untuk mengajarkan kita menjadi pribadi yang memiliki jiwa bersih dan suci, supaya mampu menjalin hubungan terus menerus dengan Allah, mendidik kita untuk selalu bertanggung jawab, menumbuhkan rasa simpatik dengan golongannya dan masih banyak lagi.[17]

 

Ø  Implikasi Keagamaan terhadap Isi Tafsir al-Qur’an

Berdasarkan filosofis, pemahaman setiap orang kepada sesuatu yang telah benar bergantung pada sampai sejauh mana mereka melakukan tafsiran kepada sesuatu yang benar tersebut. Untuk seorang muslim, kebenaran akan dijadikan pandangan dunia saat mereka percaya isi dari penafsiran al-Qur’an sudah cukup puas untuk dijadikan alat kebenaran yang selalu mereka jadikan pedoman setiap langkahnya. Ibnu Arabi (1165-1240), menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam mengerti dan menelaah isi al-Qur’an oleh karena itu setiap isinya berisi tujuh tingkatan pengertian masing-masing yang berbeda-beda.

Ideologi tafsir ialah berisi tentang suatu pemahaman yang digunakan oleh para penafsir dalam menafsirkan isi al-Qur’an. Pemahaman tersebut sangat berperan penting yang digunakan oleh penafsir yang dijadikan pandangan dan pemahaman dalam isi al-Qur’an. Pada abad ke 20 ada dua tafsir, yakni:

1.    Tafsiran Skripturalis.

Tafsiran ini digunakan oleh para penafsir yang tidak menggunakan bacaan secara kritis sehingga mengakibatkan sikap yang berbeda kepada kebenaran yang terdapat pada agama lain. Sikap semacam ini akan merasuki pemikiran umat islam kemudian selanjutnya akan mengakibatkan sikap waspada kepada agama lain selain islam dan bisa sampai mengakibatkan masalah dalam kehidupan bermasyarakat.

Penafsiran skriptularis dengan isi agama bisa membawa pengikutnya menjadi skripturalis pada kehidupan yang sesungguhnya. Walaupun begitu, seharusnya jangan mengatakan bahwa penafsiran seperti itu adalah salah, karena seperti apapun itu jika sudah membahas soal keyakinan ataupun kepercayaan teologis yang ada pada diri setiap individu dan jika terkait masalah teologis semua orang wajib dan berhak memilih ataupun menganut tanpa paksaan dari pihak manapun. Setidaknya hanya dapat mengkritik dengan memberitahu bahwa bukankah tujuan yang ingin dicapai dalam syariat yang universal yakni kebaikan untuk kita semua lebih baik diutamakan dari pada yang lainnya.

 

2.    Tafsiran Substansialis

Liddle mengatakan bahwa ada empat ciri-ciri utama penafsiran substansialis, yaitu: pertama, substansi ini harus berasal dari sebuah keimanan dan bisa dipraktekkan itu yang lebih utama dari pada bentuknya. Sama seperti faham akan teori dan isi dari al-Qur’an tetapi jauh lebih baik jika dilakukan ataupun dipraktekkan oleh umat islam. Kedua, poin-poin yang ada didalam al-Qur’an harus tetap di pelajari lebih dalam bisa dilakukan dengan penafsiran ulang supaya tetap seimbang dengan seiringnya perubahan zaman. Situasi dan kondisi bermasyarakat saat ini berbeda dengan kodisi sosial masyarakat pada zaman nabi Muhammad. Oleh karena itu, pemahaman yang dulu sepertinya harus dilupakan serta dijauhkan dari zaman yang sudah modern ini. Ketiga, ajaran dalam islam harus lebih diutamakan lagi karena dulu pernah terjadi permusuhan antar golongan bahkan agama di masa yang lalu yang tidak seimbang lagi dengan zaman sekarang. Maka dari itu, diskusi dan musyawarah antar golongan harus lebih sering diutamakan dan lebih ditingkatkan. Keempat, terutama untuk indonesia yakni bentuk Negara Republik Indonesia sudah terakhir dan tidak boleh diganti ataupun dirubah menjadi “Negara berbasis Islam” karena didalam dasar Negara sudah mencakup tujuan-tujuan politik yang diajarkan menurut islam.

Ada hal yang lebih utama dari keempat ciri-ciri diatas yaitu, memindah alih perkataan untuk tidak boleh meninggalkan dari penafsiran literal kepada multi-literal. Yaitu Muhammad Abduh yang disebut-sebut sebagai penafsir al-Qur’an yang melaksanakan secara real dengan mengamalkan isi dari teks al-Qur’an. Ide-ide mereka yang berasal dari teks al-Qur’an sangat dekat dengan pendekatan non-normatif. Pada masa itu, al-Qur’an tidak ditafsirkan melainkan al-Qur’an dijadikan solusi pemecahan masalah terhadap permasalahan sosial yang sangat sering terjadi.[18]

 

Ø   Metode yang digunakan dalam Kajian Normatif

   Metodologi yakni sebuah penelitian tentang ilmiah yang berkesinambungan dengan pembahasan yang terkait tentang metode-metode yang ingin digunakan dalam meneliti gejala-gejala yang terjadi di alam ataupun manusia. Metode ilmiah ini merupakan aturan-aturan yang ‘wajib’ dilaksanakan oleh para peneliti saat melaksanakan kajian kepada permasalahan utama yang akan dikajinya. Sedangkan metodologi penelitian dalam kajian Islam, secara umumnya, adalah ilmu yang mempelajari tentang cara-cara atau metode-metode yang digunakan secara urut dalam meneliti, memahami dan memperdalam ajaran-ajaran serta pengetahuan yang berasal dari sumber-sumber yang telah dipercaya pada isi al-Qur`an. Dalam aturan Al-Qur’an, pengetahuan didalamnya itu di dapatkan dari wahyu (haqq al-yaqin), yang didasarkan oleh pendapat dan bukti (‘ilm al-yaqin), yaitu dengan penelitian, pengamatan, laporan sejarah, deskripsi pengalaman (‘ain alyaqin). Langkah-langkah atau metode-metode pengetahuan berdasarkan sumber-sumber yang terdapat dalam al-Qur’an.

Secara historis, telah dilaksanakan oleh para ulama, fuqaha, ilmuwan, filosof muslim dan para sufi. Banyak bermacam metode yang digunakan saat penelitian tersebut, yang intinya bermaksud agar  diterapkan atau diamalkan dalam kehidupan manusia sehari-hari, baik secara individu maupun sosial. Melalui kerja keras semacam ini, para ulama dan ilmuwan tersebut telah banyak menghasilkan dan memproduk ilmu-ilmu, yang menjadi cerita kebaikan suatu peradaban Islam, baik yang termasuk kedalam ilmu-ilmu riwayat maupun ilmu-ilmu rasional, termasuk dalam ilmu-ilmu terapan yang langsung dapat digunakan dan diperankan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bukan hanya itu, ilmu-ilmu lain pun dihasilkan juga oleh kaum sufi. Apa yang dikerjakan oleh para ulama dan pemikir Islam di atas, adalah suatu kesadaran bahwa seiring dengan perkembangan masyarakat Islam diberbagai bidang, untuk mempelajari Islam atau menerapkannya dalam masyarakat yang memiliki berbagai kebutuhan dan kepentingan, masih dibutuhkan rumusan-rumusan yang nyata.

Kebanyakan sumber ajaran Islam, baik al-Qur’an maupun Sunnah, tidak bisa ataupun tidak dapat  memberikan keterangan tentang kebutuhan tersebut secara detail atau rinci, kecuali untuk hal-hal tertentu, bahkan hanya memberikan semangat untuk dilakukannya suatu tindakan lebih lanjut, atau hanya memuat nilai-nilai, supaya pesan-pesan ajaran tersebut menjadi nyata bagi masyarakat. Kesadaran tersebut, sebenarnya telah diakui dan dipercayakan sendiri oleh Nabi, melalui perbuatannya dan persetujuannya terhadap penggunaan akal (istikhdam al-‘aql) sebagai upaya penerapan ajaran-ajaran Islam dalam lingkungan masyarakat, yang terkenal dengan sebutan ijtihad. Kesadaran akan perlunya sistem penjelasan dan pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam yang lebih sederhana dan dilihat dapat membahas masalah-masalah nyata dalam masyarakat muslim, khususnya para ilmuwan muslim terdahulu, juga terdapat pada para ulama, pemikir dan ilmuwan Muslim Indonesia sekarang.

Namun demikian, kesadaran mereka tersebut, memunculkan suatu masalah besar dalam aspek metodologis. Kebanyakan dari mereka, dalam memahami ajaran-ajaran Islam, masih memanfaatkan metode-metode dan cara-cara sosial yang nota bene yang merupakan produk peradaban Barat, oleh karena itu, metode-metode produk muslim klasik hampir terlupakan dan hampir tidak dipakai. Pemanfaatan metode-metode dan teori sosial produk Barat tersebut tidaklah salah sama sekali dan tidak ada yang harus dipermasalahkan, tetapi ketika ajaran-ajaran Islam terlepas dari otoritas wahyu, maka pengalaman dan pembelajaran akan menjadi tidak terkendali, keluar dari dasar pijakannya. Dengan kata lain, ketika seorang ilmuwan Muslim melakukan penelitian-penelitian Islam dengan menggunakan metode dan teori yang berasal dari tradisi Barat modern itu, apalagi secara kesendirian, tanpa melibatkan atau menyandingkannya dengan berita terbaru metodologis produk muslim klasik, maka seringkali akan bertabrakan, yang memang sejak awal telah berbeda atau paling tidak akan semakin menghilangkan metode dan teori-teori yang pernah ada dalam tradisi muslim klasik.

Jika metodologi Islam tak dianggap dan terabaikan, maka terlihat dari raut wajah kebingungan para pengkaji atau peneliti ajaran Islam sejak awal dalam menentukan metode dan langkah-langkah yang harus digunakan. Sehingga karya mereka benar-benar diakui sebagai karya ilmiah. Ketika, contohnya, seorang Dosen mata kuliah Metodologi Penelitian berkata bahwa karya-karya para mahasiswa PTAIN bukanlah karya ilmiah, maka direspons dengan keidaksenangan. Ini menunjukan bahwa ilmu dan cara metodologi produk ilmuwan Muslim terlihat asing bagi mereka dan mungkin sebagian besar dari mereka belum pernah mendengar istilah metodologi, bahkan ada yang sengaja dijadikan dengan sengaja menjadi ‘asing’, mungkin dikarenakan oleh metodologi produk peradaban Barat yang tidak mempertimbangkan serta melibatkan unsur kebaikan serta kerohanian. Sering diprotes, bahwa metodologi penelitian dalam kajian Islam, kurang ada keterkaitannya langsung kajian kajian tentang perilaku sosial yang tidak senada dengan norma-norma kebaikan.

Ketidakserasian semacam ini, apabila yang dimaksudkan yaitu normatif maka benar adanya, tetapi jika dikembalikan lagi kemunculan metodologi penelitian Islam maka masih perlu dipertanyakan. Karena, dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, paling sedikit ada empat macam metodologi penelitian dalam kajian Islam yang pernah dikembangkan luas oleh para pemikir Islam. lewat metode ini, baik dilakukan secara alternern maupun secara terpadu, bukan hanya dapat menyentuh masalah hubungan dengan Allah dan hubungan dengan alam tetapi juga akan berpengaruh terhadap hubungan baik antar sesama manusia ataupun dengan masalah-masalah sosial lainnya. Berdasarkan isi uraian di atas, maka dilihat perlu untuk melindungi metode-metode penelitian yang digunakan para pemikir muslim dalam kajian Islam. Hal ini diartikan, selain untuk melindungi peradaban Islam yang cenderung terlupakan dan sudah mulai di asingkan, yaitu dalam rangka mengatasi masalah metode yang muncul dari peradaban yang tidak mengakui otoritas kebaikan.

Metodologi yang akan digali dan dicari ini tentu saja tetap dalam batas atau kerangka bangunan ilmu dalam Islam yang merupakan hasil dari suatu peradaban atau sumber utama pengetahuan Islam. Selanjutnya akan dibahas tentang mengenai bangunan ilmu dalam kajian Islam. Bangunan ilmu yang diartikan dalam pembahasan kali ini yakni suatu gambaran suatu ilmu yang menjawab pertanyaan umum dan bersifat dasar sebagai berikut: Apakah yang bisa diketahui oleh manusia? Bagaimana cara seseorang bisa mengetahuainya? Untuk apa pengetahuan itu di bahas dan dimanfaatkan? Oleh karena itu, pembahasan tentang bangunan ilmu dalam peradaban Islam yang tentu saja ada kemiripan dan juga perbedaan dengan bangunan ilmu dalam peradaban lain akan mengantarkan kita kepada musyawarah serta diskusi tentang tiga unsur pokok yang utama dan yang tentu tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yakni: Pertama, adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai objek pengamatan dan penelitian, melalui indera atau akal ataupun lainnya. Dalam dunia kajian filsafat ilmu unsur ini sering disebut dengan ontologi.

 Berbeda pula pendapat dari pemikir Barat modern yang hanya menjadikan fisika sebagai yang dapat di amati atau sebagai objek pengetahuan dan penelitian, para pemikir Muslim memandang bahwa objek penelitian, tidak hanya fisika, melainkan juga nash-nash (ayat al-Qur’an dan hadits), dan metafisika. Sangat banyak sekali ayat yang menunjukan dan menjelaskan bahwa terdapat wujud al-ghaib dan ada wujud asysyahadah. Dalam keterkaitan ini perlu dijelaskan bahwa dalam kajian para filosof Muslim, keberadaan essence atau maujudat, jika diuraikan dengan jelas ada beberapa tingkatan, yakni tingkat pertama yaitu Tuhan, tingkat kedua yaitu malaikat, tingkat ketiga yakni benda-benda langit dan tingkat keempat yakni benda-benda bumi berupa mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Kedua, unsur yang dikenal dengan istilah nazhariyah al-ma’rifah, adalah langkah-langkah dan cara-cara untuk mendapatkan atau menemukan pengetahuan dan pembelajaran, yang dalam kajian filsafat ilmu sering disebut dengan epistemologi.

 Berbeda dari para pemikir Barat modern, para pemikir Islam mengatakan bahwa epistemologi Islam yang bisa digunakan dalam penelitian dan pengembangan pengetahuan yaitu: membaca, berpikir, pengamatan, penelitian. Ketiga, unsur yang dikenal dengan ilmu amal yang dalam kajian filsafat ilmu dikenal dengan aksiologi. Dalam studi Islam, selain dua hal tersebut, bangunan penting dari suatu ilmu adalah ilmu amal yakni dilihat dari cara kita untuk melakukannya dari suatu ilmu yang telah didapatkan melalui berbagai epistemologi di atas. Ilmu amal tersebut haruslah berlandaskan dengan nilai-nilai positif yang dapat membawanya kepada apa yang dikenal dengan istilah amal shaleh. Nilai-nilai dimaksud adalah: nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai akhlak, etika dan moral, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai sosial, nilai-nilai kegunaan ataupun kebaikan. Amal shaleh dengan dasar dan ciri di atas, haruslah dimanfaatkan dalam lima hal yaitu: merawat agama, merawat jiwa, merawat akal, merawat keturunan dan merawat harta kita.

Dalam Islam, amalan dan perbuatan normatif atau keagamaan yang bernilai postif ataupun yang dikenal dengan amal shaleh itu tadi sangat penting, tidak boleh hanya sebagai wacana atau perdebatan saja tetapi juga harus dipraktekkan dan dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang berpendapat bahwa, al-Qur’an merupakan kitab yang didalam nya membahas tentang prinsip-prinsip dan moral, bukan merupakan sebuah kitab dokumen yang berisi tentang hukum dan di al-Qur’an sudah dijelaskan semua hal secara rinci dan keseluruhan. Jadi, apapun perbuatan ataupun langkah-langkah kita ini semua hendaknya harus berpedoman pada isi didalam nash-nash al-Qur’an maupun hadits. Semua metode pun juga seperti itu, metode-metode yang digunakan oleh para pengkaji atau peneliti pasti menggunakan metode dengan berpedoman oleh nash al-Qur’an.[19]

 

 

E.KESIMPULAN

Metodologi Studi Islam dilaksanakan di berbagai perguruan tinggi Islam di dunia, yang pengorganisasiannya berbeda antara perguruan tinggi satu dengan lainnya dan merupakan mata kuliah umum yang wajib dipelajari oleh setiap mahasiswa IAIN dan PTAIS yang mempelajari tentang ilmu yang mengkaji dan meneliti studi-studi dasar keislaman baik klasik maupun modern dengan pendekatan normatif seadanya. Dikatakan seadanya karena memang ada tataran praktisnya diperkuliahan, tidak selamanya studi islam ini dibahas secara metodik sesuai dengan tuntutan disiplin tersebut. Banyak variabel yang menjadi penyebab, diantaranya faktor ketiadaan program pengajaran yang baku dan menuju ke arah yang lebih metodologis. Penyebab lainnya adalah dari segi kemampuan tenaga dalam proses belajar mengajar yang masih sangat terbatas dari segi rekayasa pendekatan, sehingga diantara mereka ada yang tidak mampu membahas secara detail dan metodologis.

Wujud nyata studi ilmu-ilmu dasar keislaman dan pendekatan normatif yang dimaksud dalam silabus mencakup kedalam bidang-bidang studi yang salah satunya terdapat pada nash al-Qur’an. Dimana saat kita benar-benar memahami serta mempelajari islam secara normatif berarti kita telah menggali, memahami, menghayati, dan mengamalkan amanat-amanat islam yang bersumber dari al-Qur’an. Dan juga saat kita sedang mengkaji dan memberi pembelajaran tentang pendekatan normatif kita juga harus berdasarkan dari dalil yang jelas yakni yang berasal dari nash al-Qur’an.

Mata kuliah MSI adalah suatu studi komprehensif tentang islam dalam batas-batas kajian dasar dan diusahakan dipelajari secara lebih metodologis. Dengan maksud lain, mata kuliah MSI adalah sebagai pengantar umum tentang khazanah ilmu-ilmu pengetahuan dasar keislaman yang diperuntukkan sebagai pengenalan awal (studi dasar) bagi semua mahasiswa sebelum melangkah kedalam kajian disiplin-disiplin ilmu khusus sesuai dengan bidang kajian masing-masing jurusan yang terdapat di IAIN dan PTAIS.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ajahari. “MEMAHAMI ISLAM PERSPEKTIF METODOLOGIS.” Jurnal Tarbiyatuna Pendidikan Agama Islam 1, no. 1 (Desember 2011): 7.

Amar’, Isrofil. “STUDI NORMATIF PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL.” ISLAMICA 4, no. 2 (Maret 2010): 326–29.

Arifin, Syamsul. “STUDI ISLAM: BASIS FILOSOFIS DAN PENDEKATAN.” Studi Islam: Basis Filosofis dan Pendekatan, t.t., 6–7.

Dasmun, H. “STUDI AL-QUR’AN DAN AL-HADITS.” Jurnal Risaalah 1, no. 1 (Desember 2015): 92.

Hanafiah, Muhibuddin. “Revitalisasi metodologi dalam studi islam: suatu pendekatan terhadap studi ilmu-ilmu keislaman.” Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA XI, no. 2 (Februari 2011): 293–301.

Ibrahim, Duski. “Metodologi Penelitian dalam Kajian Islam.” Intizar 20, no. 2 (2014): 248–51.

Krismiyarsi. “KAJIAN TERHADAP PENDEKATAN ILMU HUKUM NORMATIF DAN ILMU HUKUM EMPIRIK  SEBAGAI DUA SISI PENDEKATAN YANG SALING MENGISI.” Masalah-Masalah Hukum Jilid 44, no. 1 (Januari 2015): 114–21.

Kurniasih, Apri. “PENDEKATAN STUDI ISLAM DI PERGURUAN TINGGI ISLAM.” AS-Salam III, no. 1 (Th 2013): 83–88.

Mahfudz, Muhsin. “IMPLIKASI PEMAHAMAN TAFSIR AL-QUR’AN TERHADAP SIKAP BERAGAMAN.” Tafsere 4, no. 2 (Tahun 2016): 123–30.

Mulyadi. “KONTRIBUSI FILSAFAT ILMU DALAM STUDI ILMU AGAMA: TELAAH PENDEKATAN FENOMENOLOGI.” Ulumuna XIV, no. 1 (1 Juni 2010): 146.

Mundir. “PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DAN NORMATIF DALAM PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK DI MADRASAH IBTIDAYAH.” JPII 1, no. 2 (April 2017): 198–201.

Murniyetti. “Demokrasi dalam Islam: Suatu Pendekatan Tematik Normatif Tentang Kepemimpinan Perempuan.” DEMOKRASI IV, no. 1 (Th 2005): 113.

Shaifudin, Arif. “MEMAKNAI ISLAM DENGAN PENDEKATAN NORMATIF.” El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama 5, no. 1 (Juni 2017): 1–7.

Wahyudi, Dedi. “KONSEPSI AL-QUR’AN TENTANG HAKIKAT EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM.” HIKMAH XII, no. 2 (2016): 251.

Widodo, Pribadi. “STUDI PERANCANGAN ISLAMIC CENTER LHOKSEUMAWE MELALUI PENDEKATAN SECARA MODERN DENGAN TETAP MEMPERTAHANKAN UNSUR LOKAL KONTEN DAN SPIRITUALITAS ISLAM.” Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain, no. 1 (t.t.): 1–2.

Zuhriyah, Luluk Fikri. “METODE DAN PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams.” ISLAMICA 2, no. 1 (September 2007): 37–38.

Zulaiha, Siti. “Pendekatan Metodologis Dan Teologis Bagi Pengembangan dan Peningkatan Kualitas Guru MI.” Ar-Riayah : Jurnal Penddikan Dasar 1, no. 01 (2017): 157.

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Muhibuddin Hanafiah, “Revitalisasi metodologi dalam studi islam: suatu pendekatan terhadap studi ilmu-ilmu keislaman,” Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA XI, no. 2 (Februari 2011): 293–301.

[2] Luluk Fikri Zuhriyah, “METODE DAN PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams,” ISLAMICA 2, no. 1 (September 2007): 37–38.

[3] Arif Shaifudin, “MEMAKNAI ISLAM DENGAN PENDEKATAN NORMATIF,” El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama 5, no. 1 (Juni 2017): 1–7.

[4] Ibid., hal. 10-12.

[5] Isrofil Amar’, “STUDI NORMATIF PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL,” ISLAMICA 4, no. 2 (Maret 2010): 326–29.

[6] Siti Zulaiha, “Pendekatan Metodologis Dan Teologis Bagi Pengembangan dan Peningkatan Kualitas Guru MI,” Ar-Riayah: Jurnal Penddikan Dasar 1, no. 01 (2017): 157.

[7] Apri Kurniasih, “PENDEKATAN STUDI ISLAM DI PERGURUAN TINGGI ISLAM,” AS-Salam III, no. 1 (Th 2013): 83–88.

[8] H. Dasmun, “STUDI AL-QUR’AN DAN AL-HADITS,” Jurnal Risaalah 1, no. 1 (Desember 2015): 92.

[9] Ajahari, “MEMAHAMI ISLAM PERSPEKTIF METODOLOGIS,” Jurnal Tarbiyatuna Pendidikan Agama Islam 1, no. 1 (Desember 2011): 7.

[10] Pribadi Widodo, “STUDI PERANCANGAN ISLAMIC CENTER LHOKSEUMAWE MELALUI PENDEKATAN SECARA MODERN DENGAN TETAP MEMPERTAHANKAN UNSUR LOKAL KONTEN DAN SPIRITUALITAS ISLAM,” Jurnal Tingkat Sarjana bidang Senirupa dan Desain, no. 1 (t.t.): 1–2.

[11] Syamsul Arifin, “STUDI ISLAM: BASIS FILOSOFIS DAN PENDEKATAN,” Studi Islam: Basis Filosofis dan Pendekatan, t.t., 6–7.

[12] Mulyadi, “KONTRIBUSI FILSAFAT ILMU DALAM STUDI ILMU AGAMA: TELAAH PENDEKATAN FENOMENOLOGI,” Ulumuna XIV, no. 1 (1 Juni 2010): 146.

[13] Krismiyarsi, “KAJIAN TERHADAP PENDEKATAN ILMU HUKUM NORMATIF DAN ILMU HUKUM EMPIRIK  SEBAGAI DUA SISI PENDEKATAN YANG SALING MENGISI,” Masalah-Masalah Hukum Jilid 44, no. 1 (Januari 2015): 114–21.

[14] Mundir, “PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DAN NORMATIF DALAM PEMBELAJARAN AQIDAH AKHLAK DI MADRASAH IBTIDAYAH,” JPII 1, no. 2 (April 2017): 198–201.

[15] Murniyetti, “Demokrasi dalam Islam: Suatu Pendekatan Tematik Normatif Tentang Kepemimpinan Perempuan,” DEMOKRASI IV, no. 1 (Th 2005): 113.

[16] Zuhriyah, “METODE DAN PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM Pembacaan atas Pemikiran Charles J. Adams.”

[17] Dedi Wahyudi, “KONSEPSI AL-QUR’AN TENTANG HAKIKAT EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM,” HIKMAH XII, no. 2 (2016): 251.

[18] Muhsin Mahfudz, “IMPLIKASI PEMAHAMAN TAFSIR AL-QUR’AN TERHADAP SIKAP BERAGAMAN,” Tafsere 4, no. 2 (Tahun 2016): 123–30.

[19] Duski Ibrahim, “Metodologi Penelitian dalam Kajian Islam,” Intizar 20, no. 2 (2014): 248–51.

Post a Comment for " PENDEKATAN NORMATIF DALAM STUDI ISLAM DENGAN NASH AL-QUR’AN"