PENGELOMPOKKAN KEILMUAN
DALAM ISLAM:
PERSPEKTIF BAYANI
NAMA: ANIKA FERNINDA SARI
NO.URUT: 43
ABSTRACT
Science is very important
for life, many things require knowledge in this world. Therefore this journal
article discusses the grouping of perspective perspective in which the
discussion not only addresses the issue of scince but also about islamic
science , bacause it will be better if the scince of the world and the
hereafter is balanced.
ABSTRAK
Ilmu
sangat penting untuk kehidupan, banyak hal yang membutuhkan ilmu di hidup ini.
Maka dari itu artikel jurnal ini membahas tentang pengelompokkan ilmu
perspektif bayani yang dimana pembahasannya itu tidak hanya membahas masalah
ilmu pengetahuan saja tetapi juga tentang ilmu keislaman, karena ilmu itu akan
lebih baik jika antara ilmu dunia dan akhirat itu bisa seimbang.
PENDAHULUAN
Dalam
artikel jurnal ini bisa
ilmu di dalam dunia Islam merupakan prasyarat utama dalam memperoleh
kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Bisa dikatakan sebab kemunduran peradaban
Islam saat ini adalah karena krisisnya ilmu dalam tubuh Islam,1 dan bahaya
paling hebat yang saat ini menimpa kaum Muslimin adalah rusaknya hati dan
rapuhnya iman akibat kesesatan yang berasal dari filsafat dan ilmu pengetahuan.
Solusi satusatunya untuk memperbaiki hati dan menyelamatkan iman adalah adanya cahaya
dan bagaimana memperlihatkan cahaya tersebut. Cahaya yang dimaksud adalah jalan
dakwah yang membangkitkan keimanan dan beribadah dengan naungan rida Allah SWT.
Dalam upaya menegakkan dan mengembalikan peradaban Islam, maka bangunan ilmu
harus ditegakkan. Karena ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam
bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan.3 Sebabnya,
ilmu bukan bebas-nilai (value-free),
tetapi
sarat nilai (value-laden).4 Di mana upaya tersebut adalah
dengan mengerahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusia agar sejalan
dengan prinsip-prinsip dalam Islam.
Rumusan masalah
Pengertian Kelompok dan Sejarah Kelompok
Pengelompokkan
itu sendiri kata dasarnya adalah kelompok. Pengelompokkan itu sendiri dapat
menyatakan nama orang, nama tempat, atau semua yang bisa dibendakan karena
pengelompokkan itu sendiri memiliki arti dalam kelas nomina. Contohnya saja
pengelompokkan untuk manusia yaitu, Sejak manusia dilahirkan, mereka sudah
meiliki aspirasi harapan yang hakiki yaitu: (1) harapan supaya menyatu dengan
manusia disekitarnya, dan (2) harapan supaya terbiasa dengan alam sekitarnya.
Hal itu supaya dapat membuat mereka beradaptasi dan mengimbangi lingkungan
disekitarnya, dengan perasaan, kehendak, dan pikirannya. Tujuan dasar
terdapatnya suatu keinginan untuk berada dalam suatu kelompok dengan masyarakat
yaitu agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Karena adanya suatu
motivasi hidup dan keperluan untuk saling menjalin hubungan dengan masyarakat lain, itu menyebabkan hati kecil
manusia sebagai seorang makhluk hidup yang mempunyai sifat gregariousness. Gregariousness itu jika di artikan
menggunakan istilah maka didalamnya itu mempunyai arti tentang sosiologi yang dimana
hal ini berkaitan dengan sebuah bentuk dorongan, keinginan dan juga sikap
manusia untuk selalu hidup berbaur dengan individu lainnya di dalam kehidupan
di masyarakat. Oleh karena itu, manusia itu disebut sebagai social animal (hewan sosial) yaitu
karena manusia memiliki sebuah nurani yang membuat mereka itu bisa hidup berkelompok
bersama orang lain yang ada di sekitarnya, yaitu hidup dengan suatu kaum atupun
masyarakat. Nah, suatu kaum dan masyarakat itulah yg disebut pengelompokan,
lebih tepatnya pengelompokan manusia. Ada berbagai penelitian yang menjelaskan
bahwa manusia pada zaman dulu itu sudah menyatu dalam sebuah kelompok supaya
mereka itu mendapat keuntungan dalam kelangsungan
hidup atau pertahanan hidupnya (Baumeister & Leary, 1995 dalam Aronson et al., 2005).[1]
Dibawah
ini adalah beberapa pandangan tentang
kehidupan kelompok manusia berdasarkan pandangan , yaitu:
1.
Kehidupan Kelompok berdasarkan Pandangan Tradisional
Ajaran
Islam menjelaskan bahwa manusia yang pertama kali diciptakan adalah Adam AS,
dan Siti Hawa. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-Baqorah ayat 30, yaitu tujuan
diciptakannya Adam AS, dan Siti Hawa adalah untuk menjadi khalifah di bumi.
Khalifah artinya pengelola atau pemimpin umat manusia (masyarakat)., Allah SWT
sudah menyiratkan kepada makhlik hidup dari awal penciptakan supaya manusia
hidup berkelompok (berkaum-kaum) dalam kelompok sosial yang di dalam kelompok
tersebut terdapat seorang pemimpin.
Kelompok
orang yang pertama yaitu Adam AS, dan Siti Hawa. Soekanto berpendapat (2009) Allah
SWT.telah nenakdirkan Adam AS, hidup mengelompok bersama dengan manusia lain,
yaitu istrinya Siti Hawa. Mereka adalah suatu kelompok manusia pertama di muka
bumi ini. Cartwright & Zander (1968), dan juga Lewin (1948) dalam Aronson (2005) berpendapat
bahwa kelompok itu adalah suatu kumpulan dari 2 orang atau bahkan lebih yangsaling
berinteraksi satu sama lain dan mereka saling bergantung satu sama lain dalam
hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan tujuan untuk bersama, yang
menyebabkan satu sama lain saling berpengaruh. Jika ditinjau dari sudut pandang
Beberapa Ilmuwan, terdapat berbagai deskripsi mengenai kelompok masyarakat ,
seperti:
a. Republik (Plato)
Plato adalah seorang filsuf barat yang
berpendapat tentang kelompok masyarakat secara sistematik yaitu pada tahun
429-347 SM. Plato bermaksud untuk merumuskan suatu teori tentang bentuk negara
(republik) yang diinginkannya, dengan itu Plato membentuk sebuah organisasi
yang dimana landasan pada pengamatannya dilakukan secara kritis dengan bantuan
sistem-sistem sosial yang ada pada jamannya. Dengan adanya analisis terhadap
kelompok masyarakat, Plato berhasil menunjukkan hubungan fungsional antara
kelompok-kelompok tersebut yang pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang
menyeluruh. Dengan demikian Plato berhasil merumuskan suatu teori organis
tentang masyarakat.
Sistem analisis secara organis oleh Plato,
kemudian diikuti oleh muridnya Aristoteles. Aristoteles (384-322 SM) menyatakan
bahwa manusia adalah zoon politicon,
artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu ingin
bergaul dalam masyarakat. Oleh karena sifatnya yang ingin bergaul satu dengan
yang lain, maka manusia disebut makhluk sosial dan tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam
masyarakat. Sebagai individu, manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang
diinginkan dengan mudah tanpa bantuan orang lain.[2]
b. Kota Negara (Machiavelli)
Suatu karya yang besarnya itu tidak
dibatasi oleh ruang dan waktu, The
Prince adalah orang yang disebut-sebut mempunyai kontribusi yang besar
dalam menjelaskan kehidupan berkelompok masyarakat suku ke negara yang dihuninya.
Machiavelli berpendapat asal muasal
Negara Italia itu, dimulai dengan adanya komitmen antara manusia supaya mereka
mau hidup bersama di suatu wilayah (kota). Untuk menghindari dari ancaman
intervensi pihak luar, maka di buatlah sebuah batasan (boundary maintenance) yaitu
kota yang dijadikan tempat berinteraksinya masyarakat suku Italia. Batas antara
kelompok suku Italia dengan luarnya, dan dijaga dari pengaruh-pengaruh luar
yang dapat merugikan. Dengan semakin berkembangnya masyarakat suku tersebut,
batasan fisik, berupa tembok atau parit pembatas tidaklah cukup. Tetapi, juga perlu
upaya untuk meningkatkan batasan yang besifat non fisik dalam mempertahankan
identitas dan pola-pola interaksi kelompok yang telah ada sebagai upaya
memelihara atau mempertahankan batasan. Tendensi suatu masyarakat untuk
membentuk klik, koalisi ataupun bertahan terhadap kekuatan-kekuatan dari luar
yang mengancam tata nilainya. Machiavelli
dalam melihat realitas masyarakatnya yang mengalami rentetan pasang surut
perkembangan dan perubahan, khususnya ancaman para penyerang dari luar,
terutama serbuan pasukan Perancis dan Spanyol yang menjadikan kota-kota di
Italia itu sendiri sebagai sasaran empuk untuk melakukan sebuah perampokan,
kemudian menyimpulkan bahwa suatu pemerintahan itu harus dibangun dengan dasar
yang kuat sehingga kekuasaannya itu menjadi stabil. Dasar stabilitas kekuasaan
adalah hukum yang baik didukung
angkatan bersenjata yang kuat. Dalam buku yang kontroversial ini, Machiavelli (1469-1527) berpendapat
bahwa para pangeran haruslah meraih kekuasaan absolut atas wilayah kekuasaan mereka dan mereka harus menggunakan
berbagai cara untuk itu. Kalau pemerintahan membela rakyat maka dengan
sendirinya negara akan kuat. Karena siapa
yang meninggalkan rakyatnya maka negara itu akan masuk dalam perangkap
kehancuran.
c. Kontrak Sosial (Rousseau)
Menurut pandangan Rousseau (1712-1778),
manusia itu mempunyai pikiran bahwa hidup damai dan tentram itu adalah sesuatu
yang bersifat lebih baik. Keadaan seperti itu dapat tercapai apabila manusia
mengadakan suatu kontrak atau perjanjian dengan pihak-pihak yang memiliki
wewenang, yaitu pihak yang dapat memelihara ketentraman. Konsep yang dilontarkan
John Locke (1632-1704) dan Rousseau pada abad ke-18 ini masih berpegang pada
konsep ”kontrak sosial” yang diungkapkan Hobbes (1588-1679) di zamannya. Mereka
berpendapat bahwa manusia pada dasarnya mempunyai hak-hak asasi yang berupa hak
untuk hidup, kebebasan, dan hak atas harta benda. Kontrak antara warga
masyarakat dengan pihak yang memiliki wewenang sifatnya atas dasar faktor
pamrih. Apabila pihak yang mempunyai wewenang tadi gagal untuk memenuhi
syarat-syarat kontrak, warga masyarakat berhak untuk memilih pihak lain. Disebutkan
juga oleh Rousseau bahwa manusia alamiah itu hidup dalam keadaan polos dan
mencintai dirinya sendiri secara spontan. Ia bebas dari wewenang orang lain dan
secara hakiki semua individu itu sama kedudukannya. Kepolosan manusia itu
hancur sewaktu manusia masuk ke dalam kesatuan masyarakat untuk menjamin
kebutuhan-kebutuhannya. Dengan manusia telah bermasyarakat, maka ketidaksamaan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mereka, dan sebagai
ketidak-samaan itu maka timbullah segala kemerosotan hubungan dan egoisme. Di
lain pihak, Rousseau melihat bahwa manusia tidak mungkin kembali kepada keadaan
state of nature. Sosialisasi
adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari karena hanya dalam kesatuan
masyarakat itulah manusia dapat menjamin kebutuhan-kebutuhannya. Dalam hal ini
Rousseau berhadapan dengan suatu dilema, yakni di satu pihak proses
bermasyarakat menjadikan manusia ”kehilangan akan kepolosan dan kebebasan
alaminya”, sementara di pihak lain manusia itu tidak dapat tidak memiliki
naluri untuk bermasyarakat.[3]
Untuk
menghadapi realitas tersebut, Rousseau memandang perlunya suatu institusi
negara yang dapat menjamin dengan sungguh-sungguh akan kebebasan setiap warga
negara. Dalam hal ini, antara kehendak negara dan kehendak warga negaranya
tidak ada perbedaan ataupun pertentangan, melainkan ditandai oleh suatu
identitas dan spontanitas alamiah manusia tidak dipatahkan, tetapi justru
ditampung.
Oleh
karenanya, timbul gagasan individu untuk mengadakan perjanjian sosial antara
sesamanya, dan dalam hal ini dirumuskan antara negara dan warga negaranya, yang
diharapkan negara dapat menjamin kehidupan mereka. Pada hakikatnya negara (leviathan) merupakan suatu bentuk
kelompok yang telah memiliki norma, struktur, dan pemimpin. Dalam sejarah,
banyak contoh negara yang memiliki bukti keberadaannya sejak. Masa lalu, misalnya
Mesir dengan bangunan piramidanya, atau Cina dengan tembok raksasanya.
Kehidupan Kelompok berdasarkan Pandangan
Modern
Kehidupan
modern maupun kehidupan tradisional pada hakikatnya adalah kehidupan kelompok.
Secara tradisional manusia dipandang sebagai individu atau sebagai unit yang
terpisah, dan hanya secara insidental sebagai anggota dari suatu kelompok
masyarakat, baik berupa: keluarga, serikat pekerja, kelompok masyarakat
(pokmas), golongan tertentu dan sebagainya.
Dalam
teori kehidupan kelompok secara tradisional hanya ada dua peubah, yaitu orang
dan masyarakat. Ini didasarkan dengan asumsi dari sifat manusia dan terikat
dengan struktur masyarakat (Saleh, 2012). Sifat-sifat naluriah manusia tersebut
menurut Bormann (1990) dan Homans (1950) dalam
Yusuf (2009) bisa berupa:
a)
Rasa
Harga Diri, yang tampak sebagai keinginan untuk dihargai dan untuk kelihatan
berharga.
b)
Hasrat
Untuk Patuh, yang pada asasnya berkaitan dengan keinsyafan keagamaan.
c)
Hasrat
Meniru, yang mempunyai peranan penting dalam mempertahankan kebudayaan dan
adat-istiadat serta dalam penghematan tenaga, sehingga untuk setiap tindakan
tidak lagi diperlukan pertimbangan dan pandangan pribadi.
d)
Hasrat
Bergaul, yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan orang lain dalam
menyatakan perasaannya secara bersama-sama.
e)
Hasrat
Tolong-Menolong dan Bersimpati, yang mendorong terjadinya pembentukan perasaan
bersatu padu.
f)
Hasrat
Berjuang, yang secara sepintas nampak sikap menantang sesamanya, tetapi pada
hakikatnya memperkuat ikatan kemasyarakatan.
g)
Hasrat
Memberitahukan Dan Sikap Untuk Menerima Kesan, yang mendorong individu untuk
mengadakan hubungan dan mempererat ikatan hubungan itu, yang pada akhirnya akan
memantapkan kehidupan berkelompok atau bermasyarakat.
Di
samping sifat-sifat naluriah tersebut di atas, manusia sebagai makhluk hidup
mempunyai berbagai keinginan dan kebutuhan. Maslow (1956) menyebutkan bahwa
setiap individu termotivasi sejak lahir untuk memuaskan 1.8 Dinamika Kelompok
kebutuhannya,
sehingga dapat bertahan hidup. Hierarki kebutuhan Maslow dibagi menjadi dua
bagian utama, yaitu: (1) kebutuhan dasar yang terdapat pada hierarki paling
bawah yang terdiri dari: (a) kebutuhan fisiologis, (b) kebutuhan akan rasa
aman, (c) kebutuhan akan cinta dan harta (sosial); (2) kebutuhan tumbuh yang
berada di atas kebutuhan dasar yang terdiri dari: (a) kebutuhan akan
penghargaan (status) dan (b) kebutuhan akan aktualisasi diri.[4]
Pengertian Ilmu
Ilmu atau dalam bahasa Arab disebut dengan ‘ilm mempunyai makna pengetahuan yang berupa derivasi dari
kata kerja ‘alima yang bermakna mengetahui.[5]
Sedangkan secara etimologi, ilmu itu berasal dari akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alamah, yaitu ma’rifah (pengenalan),
syu’ur
(kesadaran), tadzakkur (pengingat), fahm dan
fiqh (pengertian dan pemahaman), ‘alamah (lambang), ‘aql (intelektual),
dirayah
dan riwayah (perkenalan, pengetahuan, narasi), hikmah (kearifan). Dalam menjelaskan ilmu secara terminologi,
al-Attas menggunakan dua definisi; “pertama, ilmu
adalah sesuatu yang berasal dari Allah SWT, bisa juga dikatakan bahwa ilmu itu
adalah datangnya makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari
ilmu; dan kedua,
sebagai sesuatu yang diterima oleh
jiwa yang aktif dan kreatif”.[6]
Hal
ini berimplikasi
bahwa ilmu itu mencakup semua hal. Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa “kedatangan
yang dimaksud adalah proses yang di satu pihak itu sendiri memerlukan mental
yang sangat aktif dan persiapan spiritual di pihak pencari ilmu. Di pihak lain
keridaan serta kasih sayang Allah SWT sebagai Zat yang memberikan ilmu itu juga
sangat penting. Definisi ini mengisyaratkan bahwa pencapaian ilmu dan
pemikiran, yang juga disebut proses perjalanan jiwa pada makna, adalah sebuah
proses spiritual. Ibnu Khaldun memilah ilmu atas dua macam, yaitu ilmu naqliyah
(ilmu yang berdasarkan pada
otoritas atau ada yang menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan ilmu
‘aqliyah (ilmu
yang berdasarkan akal atau dalil rasional). Termasuk yang pertama adalah
ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, tafsir, ilmu kalam, tasawuf, dan ta’bir
al-ru’yah.
Sedangkan yang kedua adalah filsafat (metafisika), matematika, dan fisika, dengan
macam-macam pembagiannya. Al-Attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan hakikat
yang inheren dalam keragamaan ilmu manusia dan cara-cara yang mereka tempuh
untuk memperoleh dan menganggap kategorisasi ini sebagai bentuk keadilan dalam
menempatkan ilmu pengetahuan sebagai objek dan manusia sebagai subjek. Dalam
klasifikasinya, al-Attas membagi ilmu dalam dua bagian, yaitu ilmu iluminasi (ma’rifah)
dan ilmu sains. Dalam bahasa
Melayu yang pertama disebut dengan ilmu pengenalan dan yang kedua disebut
dengan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan jenis pertama dikategorikan
sebagai ilmu fardu ‘ain yang
bisa dan harus dipelajari oleh setiap umat Islam. Sedangkan kategori kedua
berkaitan dengan fisik dan objek-objek yang berhubungan dengannya, yang bisa dicapai
melalui penggunaan daya intelektual dan jasmaniah. Ia bersifat fardu kifayah
dalam perolehannya.13 Dari pembagian di atas, disimpulkan bahwa ilmu dalam Islam
tidak hanya meliputi ilmu-ilmu akidah dan syariah saja. Selain kedua ilmu
tersebut, kita masih berkewajiban untuk menuntut ilmu lainnya. Bisa dikatakan
bahwa dengan ilmu syar’iyyah.
“All knowledge collected by
means of scientific method”. Ungkapan seperti itu sudah dikenal sejak dahulu yang memiliki inti bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dari
pengetahuan. Seperti yang kita ketahui bahwa ilmu diperoleh melalui metode
ilmiah, gabungan antara rasional dan empiris yang menyebabkan objek kajian
telaahnya yaitu seluruh aspek kehidupan yang bisa diuji oleh panca indra,
akal, dan empiris. Kita akan mempelajari tanda Allah
dari ayat qauliyyah yang bisa disebut dengan zikir, sedangkan dengan ilmu ghair
syar’iyyah,
kita akan mempelajari ayat kauniyyah Allah yang terbentang pada jagat raya ini, yang disebut
dengan tafakur. Dalam hal ini, kita bisa menelaah bahwa dua aktivitas ini
merupakan implementasi dari ayat al-Qur’an Surah Ali ‘Imran [3] ayat 190-191,
dengan natijah
(buah)
penerimaan amal oleh Allah bagi para pelakunya. Muhammad Iqbal pernah
menyatakan bahwa alam tak lain adalah medan kreativitas Allah. Karena bagi
siapapun yang teliti mengadakan kajian terhadap cara Allah bekerja, maka akan menambah
iman para pelakunya. Bukan malah sebaliknya, seperti yang sering terjadi di
Barat, di mana Tuhan malah disingkirkan dari arena penelitian mereka. Karena
ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Hal ini
terlihat dari banyaknya ayat al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia, di
samping itu hadis-hadis nabi juga banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk
terus menuntut ilmu.
Pengulangan kata ilmu dengan berbagai
derivasinya juga menempati posisi kedua setelah
kata tauhid. Maka di sinilah letak integrasi antara ilmu fisik empiris dengan
metafisika.
Objek
Ilmu
Dalam Islam terdapat dua alam yang
disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu alam non-fisik (‘alam
al-ghayb) dan
alam fisik atau yang tampak (‘alam al-syahadah). Dalam menjelaskan objek ilmu pengetahuan,
para filsuf Muslim memberikan penjelasan mengenai objek-objek ilmu pengetahuan
sesuai dengan status ontologisnya. Selama ini para filsuf Barat hanya mengakui
keberadaan objek yang memiliki status ontologis yang jelas dan materil, yakni
objek-objek fisik. Berbeda dengan para filsuf Muslim yang mempunyai pandangan
bahwa entitas yang ada tidak hanya terbatas pada dunia fisik saja, tetapi juga
pada entitas non-fisik, seperti konsep-konsep mental dan metafisika. Meskipun
al-Qur’an menyebutkan perbedaaan antara alam fisik dan metafisik, namun
keduanya tidak dapat dipisahkan yang satu dengan lainnya. Karena tujuan
mempelajari alam fisik adalah menunjukkan ilmu tentang alam metafisik. Manusia
diberkahi qalb atau
hati yang dapat menerima pengalaman tentang alam metafisik.[7]
Mengetahui alam metafisik ini tidak dapat dilakukan secara langsung namun harus
melalui perantara wahyu. Ilmu tanpa bimbingan wahyu hanya akan menyebabkan
kerusakan. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak bisa terlepas dari wahyu
sebagaimana dinyatakan dalam Surah al-‘Alaq [96]: 5 bahwa “Dia
(Allah SWT) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa objek ilmu dalam Islam tidak semata berkaitan dengan objek fisik atau
yang tampak pada indra dan akal manusia. Namun ia mencakup objek fisik dan
metafisik. Oleh karena itu, kebenaran ilmu kebenaran ilmu atau hal-hal yang
mengandung nilai ilmiah dalam Islam, tidak hanya yang bisa diverifikasi atau
difalsifikasi oleh fakta empiris dan dirasionalkan melalui eksperimen atau
logika semata. Islam menegaskan bahwa semua ilmu datang dari Allah SWT.
Klasifikasi ilmu pengetahuan yang telah diberikan oleh para ahli filsafat,
pakar, dan orang bijaksana, khususnya para ahli sufi dapat diterima seperti
al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Hazm, Imam al-Ghazali, dan al-Suyuti. Al-Attas juga
mengakui kebenaran klasifikasi ilmu yang mereka berikan.18 Pada hakikatnya terdapat
kesatuan di balik hierarki semua ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan
pendidikan seorang Muslim. Ilmu dapat dikategorikan berdasarkan keragaman ilmu
manusia dan cara-cara yang ditempuh mereka untuk memperolehnya dan
pengategorian tertentu itu melambang kan usaha manusia untuk melakukan keadilan
terhadap setiap bidang ilmu pengetahuan.
Sumber
Ilmu dan cara memperolehnya
sudah disinggung di awal, bahwa objek ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas
pada kajian fisik empiris saja, yang hal ini tentunya berbeda dengan
epistemologi Barat Modern. Hal ini berimplikasi pada sumber atau saluran dari
ilmu dalam Islam yang mempunyai perbedaan signifikan dengan epistemologi Barat.
Jikalau Barat hanya mengakui indra dan rasio, spekulasi filosofis dalam epistemologinya,
maka dalam pandangan filsuf Muslim, ilmu yang datang dari Tuhan dapat diperoleh
melalui 3 cara ; indra yang sehat, laporan yang benar, dan intelek.
Pertama,
indra yang sehat terdiri dari dua bagian, yaitu
panca indra eksternal dan internal.
Panca indra eksternal terdiri dari peraba (touch),
perasa (taste),
pencium (smell), pendengaran (hearing),
dan penglihatan (sight).
Sedangkan panca indra internal
adalah akal sehat (common sense), indra representatif (al-khayaliyyah),
indra estimatif (al-wahmiyyah), indra retentif rekolektif, dan indra imajinatif (al-mutakhayyilah). Kedua,
laporan yang benar berdasarkan
otoritas yang terbagi menjadi dua, yaitu otoritas mutlak, yaitu yang dibawa
oleh Nabi SAW berdasarkan wahyu dari al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. Contoh
dari otoritas mutlak adalah seperti otoritas ketuhanan, al-Qur’an, otoritas
kenabian, serta otoritas nisbi, yaitu kesepakatan alim ulama dan kabar dari
orang-orang yang terpercaya secara umum. Ketiga, intelek, yang terdiri dari dua bagian,
yaitu akal sehat (sound reason/ ratio), dan ilham (intuition). Sebagai penjelasan bahwa Islam
tidak pernah mengecilkan peranan indra, yang dasarnya merupakan saluran yang
sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan mengenai realitas empiris. Dalam
hal ini metode yang bersangkutan dengan indra disebut dengan tajribi
(eksperimen atau observasi) bagi
objek-objek fisik. Metode
observasi ini biasanya menggunakan sumber pengetahuan panca indra. Namun,
terkadang indra tidak akurat dalam memperoleh pengetahuan. Demikian pula pikiran,
sebagai aspek intelek manusia, ia merupakan saluran penting yang dengannya
diperoleh ilmu pengetahuan mengenai sesuatu yang jelas, yaitu perkara-perkara
yang bisa dipahami dan dikuasai oleh akal, dan mengenai sesuatu yang bisa
dicerap dengan indra. Akal bukan hanya rasio, ia adalah mental logika. Sedangkan
metode ketiga adalah intuisi atau yang disebut dengan ‘irfani
atau dzauqi.
Metode ini adalah langsung dari
Tuhan tidak melalui perantara, sehingga disebut dengan mukasyafah langsung oleh Tuhan ke dalam hati
manusia tentang rahasia-rahasia dari realitas yang ada. Dalam hal ini, para
filsuf dan sufi menyebut metode ini dengan ‘ilm
huduri. Di
sini objek yang diteliti dikatakan hadir dalam diri atau jiwa seseorang
sehingga telah terjadi kesatuan antara subjek dan objek.[8]
Metode ini dipengaruhi oleh pemikiran cendekiawan sufi. Iqbal menganggap bahwa
intuisi sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi daripada persepsi dan
pikiran, yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi. Menurut al-Attas,
meskipun pengalaman intuitif ini tidak bisa dikomunikasikan, tetapi pemahaman
mengenai kandungannya atau ilmu pengetahuan yang dihasilkannya bisa
ditransformasikan. Intuisi ini terdiri dari berbagai tingkat, yang terendah adalah
yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka dan
yang tertinggi dialami oleh para nabi. Menurut Iqbal, dari intuisi mengenai
sesuatu yang ada di luar dirinya, akhirnya bisa mengalami intuisi mengenai
Allah. Sebuah pandangan yang disepakati oleh al-Attas karena kesesuaiannya
dengan hadis Nabi SAW, “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengetahui
Tuhannya”. Hubungan
Sains, Filsafat, dan Agama
Banyak sumber yang bisa dibaca untuk menelusuri hubungan antara sains,
filsafat, dan agama. Bahkan, saat ini sedang marak diperbincangkan masalah
keterkaitan dan hubungan antara ketiga hal di atas, baik itu oleh ilm uwan Islam, maupun Barat. Hal ini dikarenakan
adanya berbagai krisis multi dimensional yang diakibatkan hegemoni sains modern
Barat yang menjadikan sains hanya meliputi dunia fisik dan alam raya ini.
Dengan keangkuhannya, sains modern telah memperlakukan alam dengan semena-mena,
dan agama telah ditiadakan. Maka ada kecenderungan masa kini untuk menemukan
solusi bagi krisis tersebut dengan kembali mempertanyakan hubungan antara
sains, filsafat, dan agama. Jika ditelusuri, pada awalnya antara ketiga hal di
atas bersatu dalam satu kesatuan, yaitu ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun
mengemukakan bahwa ilmu yang terdiri dari dua bagian, yaitu ‘aqliyyah
dan naqliyyah,
merupakan kesatuan yang bersumber
pada yang satu. Keduanya menyingkap berbagai ayat atau tanda keberadaan-Nya.
Para ilmuwan Muslim terdahulu, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Ghazali,
Fakhruddin al-Razi, Nashiruddin al-Thusi, dan lainnya juga tidak pernah
mempermasalahkan ketiganya pada level pertentangan. Bahkan tidak jarang ketika
hal tersebut bersatu pada satu sosok ilmuwan Muslim. Pertentangan
antarketiganya mulai muncul pada abad pertengahan, yaitu seiring dengan munculnya
gerakan modernisasi yang terjadi di dunia Barat. Era Modern ini ditandai dengan
pandangan hidup yang saintifik dengan warna sekularisme, rasionalisme,
empirisme, cara berfikir dikotomis, desakralisasi, pragmatisme, dan penafian
kebenaran metafisis (agama). Selain itu, modernisme yang terkadang disebut juga
dengan westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme,
liberalisme, sekularisme, dan sejenisnya. Pada masa ini, paradigma mulai
dihancurkan oleh posmodernisme dengan melahirkan paham-paham baru seperti
nihilisme, relativisme, pluralisme, dan persamaan gender dan umumnya anti worldview. Namun, pada kenyataannya,
posmodernisme hanya merupakan kelanjutan dari paradigma modernisme itu sendiri,
karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme, dan pluralisme.
Dampak dari paham, aliran, dan pemikiran yang dibawa modernisme dan
posmodernisme terhadap ilmu pengetahuan sangatlah besar. Nilai-nilai yang
berhubungan dengan metafisika dilepaskan dan hanya mengakui realitas empiris.
Lebih jauh lagi posmodernisme menganggap metafisika secara peyoratif sebagai ilmu
yang membahas tentang kesalahan manusia yang fundamental. Ini adalah preposisi
logis dari paham nihilisme. Serangan doktrin nihilisme terhadap metafisika ini
menunjukkan dengan jelas serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas. Namun
yang perlu digarisbawahi adalah semua pandangan ini merupakan hasil dari sebuah
pandangan hidup (worldview) sains. Sederhananya, ini adalah sebuah tafsiran atas
sains atau sering disebut saintisme. Dalam menghadapi tantangan ini beberapa ilmuwan
Muslim mencoba merumuskan teori-teori sebagai solusi dari permasalahan ini.
Dari padanya terciptalah sebuah konsep tentang “Islamisasi sains modern” yang
digalakkan oleh sejumlah ilmuwan Muslim, seperti Syed Mohammad Naquib al-Attas,
Ismail Raji al-Faruqi, Osman Bakar, dan Ziauddin Sardar. Islamisasi Sains modern
merupakan proses integrasi antara sains dan agama, dalam hal ini adalah agama
Islam. Dalam definisinya, Syed Mohammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa
Islamisasi adalah pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis,
kultur nasional (yang bertentangan dengan Islam), dan dari belenggu paham
sekularisme terhadap pemikiran dan bahasa. Ia juga merupakan pembebasan dari
kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap
hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa
terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, menjadi bodoh akan tujuan yang
sebenarnya dan berbuat baik adil terhadapnya.[9]
Said Nursi juga menyatakan bahwa
kebanyakan manusia terjatuh dalam kegelapan karena tidak memikirkan akhirat,
tidak mempunyai iman kepada Allah, sangat cinta terhadap dunia, dan tidak bisa
membatasi kebebasan dalam dirinya sendiri.
Sehingga munculnya ilmu pengetahuan Barat berdasarkan pada akal rasio saja
tanpa mengambil yang metafisis. Maka dari itu bisa kita ambil kesimpulan bahwa
pandangan Nursi tentang proses ilmu pengetahuan harus didasari dengan keimanan
kepada Allah. Pada definisi lain, seperti Ismail Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa
Islamisasi sains adalah upaya mengislamkan disiplin-disiplin ilmu modern dalam
wawasan Islam. Dengan kata lain, al-Faruqi ingin agar para cedekiawan Islam
meletakkan upaya integrasi pengetahuan-pengetahuan modern ke dalam keutuhan
warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali, dan
penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai worldview
Islam serta menetapkan
nilai-nilainya. Pada tataran praktisnya, upaya Islamisasi sains ini mesti
dibuktikan dengan menghasilkan buku-buku pegangan di perguruan tinggi dan
sekolah-sekolah dengan menuangkan kembali disiplin ilmu modern berwawasan
Islam.35 Para ilmuwan tersebut mencoba untuk menghadirkan solusi yang tepat
terhadap permasalahan yang terjadi dalam dunia sains yang telah mengalami
perubahan akibat persentuhannya dengan nilai-nilai yang dianggap bertentangan dengan
nilai Islam.
Adapun
pengertian keilmuan islam yang dipaparkan dalam perspektif Bayani adalah:
Pengertian Bayani
Secara bahasa, bermakna
sebagai penjelasan, pernyataan, dan ketetapan. Sedangkan secara terminologis Bayani
berarti
pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’, dan ijtihad. Dalam pengertian ini,
terdapat dua klasifikasi pemahaman
bahwa al-bayan sebagai
metodologi (pemisah
dan penjelas) dan al-bayan sebagai
pandangan dunia (keterpisahan dan jelas). Ulama kalam mengatakan bahwa al-bayan adalah dalil yang dapat
menjelaskan hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa al-bayan adalah ilmu baru yang
dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari
kondisi samar kepada kondisi jelas.
Jika
dikaitkan dengan epistemologi, maka Bayani adalah
studi filosofis terhadap struktur pengetahuaan yang menempatkan teks sebagai
sebuah kebenaran mutlak. Ditinjau
dari perspektif sejarah, Bayani sebetulnya
sudah dimulai pada masa awal Islam.
Sejarah
Epistemologi Bayani
Munculnya periode Tadwin (kodifikasi massif
keilmuan) disinyalir sebagai babak baru transformasi episteme Bayani dari wacana kebahasaan
menuju wacana diskusif. Umat Islam dihantarkan menuju budaya tulis atau
grafis (Al-kitabah) dan
penalaran (ad-diniyah) melalui
periode Tadwin. Lebih
jauh, episteme bayan telah
menjadi semacam “perspektif” (ru’yah) dan “sistem” (manhaj) yang melandasi pemikiran yang
sistematis dalam menginterpretasikan wacana (fi tafsir al-khithabah) dan memproduksi wacana (fi intaj al-khithab). Secara
etimologis kata bayan memiliki
beberapa makna yaitu, kesinambungan, keterpilihan, jelas, terang, dan kemampuan untuk
membuat jelas dan terang. Dari beberapa pengertian etimologi tersebut
dapat ditarik sebuah pengertian yang mendasar bahwa kata bayan adalah keterpilihan dan
kejelasan. Bayan tidak
hanya sekedar memiliki arti sebagai sebuah realisasi tindakan “memahamkan”
melainkan juga sesuatu yang mendasari tindakan “memahami”. Epistemologi bayan muncul karena kuatnya akar
kesejarahan yang panjang berkaitan dengan pelataran budaya dan tradisi
pemikiran Arab.
Selain itu, ada faktor lain yang mendukung yaitu tentang latar belakang bangsa
Arab yang begitu bangga dengan bahasanya terlebih lagi karena bahasa arab
diyakini sebagai bahasa wahyu Tuhan. Epistemologi bayan memunculkan nuansa kultural-intelektual yang
melahirkan generasi agamawan yang intelektual dan memiliki sebuah posisi yang
penting kaitannya dalam masalah keilmuan dan keagamaan. Para kaum agamawan
tersebut dipanggil dengan kalangan Bayyaniyyun. Seorang
tokoh yang mempioneri kaum ini adalah Imam Syafi’i. Beliau adalah orang yang
mentolerisasi Epistemologi bayaniyang
terformulasi dalam berbagai pemikiran ushul fiqh beliau.
Imam Syafi’i memiliki pemikiran
fundamental yang berpageang teguh pada empat prinsip, yaitu Al-Qur’an,
As-sunah, Ijma’ dan Qiyas. Kerangka berfikir Imam Syafi’i telah menjadi basis
penting epistemologi Bayani. Corak
yang menonjol dari pemikiran Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an yang harus ditafsirkan berdasarkan
As-sunah, bukan sebaliknya. Dalam epistemologi Islam Bayani merupakan suatu
pendekatan yang dilakukan dengan cara menganalisis teks. Pengaplikasian
dari Bayani sendiri
adalah dengam memahami teks secara langsung tanpa perlu adanya sebuah
pemikiran. Disisi lain, terdapat pandagan bahwa Bayani adalah pengetahuan mentah yang perlu untuk
ditafsirkan lebih dalam. Sasaran utama dalam bidang keagamaan dalam penggunaan metode Bayani adalah pada aspek
syariat.
Sumber
epistemologi Bayani dapat
dikelompokkan:
- Teks
nash (Al-Quran dan as-Sunnah)
- Teks
non-nash berupa kitab karangan para Ulama
Objek pendekatan bayani adalah:
- Gramatika
dan sastra (nahwu dan balaghah)
- Hukum
dan teori hukum (fiqh dan ushul fiqh)
- Filologi
- Theology
- Beberapa
bidang ilmu Al-Qur’an dan Hadist
Corak yang diterapkan dari
epistemologi Bayani adalah
deduktif yang memunculkan beberapa kritik
terkait dengan epistemologi Bayani sendiri.
Beberapa kritik yang mucul adalah dogmatif, defensif, apologetik dan polemis.
Dengan kata lain, ketika menggunakan kajian pada epistemologi Bayani perlu memberikan analisis
konteks agar dapat disesuaikan dengan kondisi yang selalu berkembang di zaman
sekarang dan mendatang.
Keunggulan dan Keterbatasan Epistimologi Bayani.
Islam memiliki epistemologi yang komprehensif
sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Keunggulan bayani terletak
pada kepada kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama hukum
Islam yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Sebenarnya
dalam epistimologi bayani juga
menggunakan akal, akan tetapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks
yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini telah menimbulkan
dogma dalam kehidupan beragama, karena kurang mampu merespon perkembangan
zaman. Dalam pendekatan bayani,
peran akal hanya sebatasa alat pembenaran atas teks yang diinterpretasi atau
dipahami karena kuatnya dominasi teks. Hal ini dikarenakan teks sebagai sumber
yang paling mutlak, sedangkan akal pikiran dikesampingkan, sehingga peran akal
menjadi tergantung di bawah teks, dan tidak menempatkannya secara
sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks. Teks tersebut seolah
menjadi suatu kebenaran yang sangat mutlak, sumber dari segala sumber ilmu yang
muncul di dunia. Pendekatan ini memiliki tujuan untuk menganalisis atau
memahami teks guna mendapatkan makna yang terkandung dalam lafadz, mengeluarkan
makna dhahir dari lafal dan I'barah yang
dhahir dan istinbat hukum dari al-nusus dan ad diniyah. Sistem berpikir yang berkembang epistemologinya dikembangkan
di atas semangat akal dan logika dengan beberapa penelitian
akal merupakan keunggulan epistemologi burhani. Pendekatan ini memiliki tujuan menetapkan aturan yang
dimanfaatkan untuk menentukan kerja akal, mencapai kebenaran yang memungkinkan,
meraih paradigma mendalam dan penalaran yang bersifat abstrak khususnya dalam
memahami realitas sosial. Akal sebagai anugerah potensial yang Allah berikan
kepada seluruh makhluk hidup yang disebut manusia. Akal merupakan salah satu
ciri manusia yang membedakannya dari hewan. Manusia dipersiapkan untuk
menggunakan segala cara dalam memahami, membaca, mempelajari, merenungkan,
membuktikan segala fenomena yang bersifat materi maupun immateri. Maka akal
adalah alat yang digunakan untuk menuju semua hal tersebut. Menggunakan akal
untuk mencapai kesadaran dan merasionalisasi hal-hal yang masih dibingungkan
merupaka bagian dari kesempurnaan fitrah, sedangkan mengabaikannya termasuk
bagian dari pengingkaran nikmat yang Allah berikan.
Potensi yang Allah berikan mesti digunakan untuk memahami semua unsur yang bisa
dinalar dengan akal dan untuk menerima syari'at Ilahi dengan penuh ketundukan
dan rasa penyerahan diri kepada-Nya secara seimbang. Namun, kendala yang sering
dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan
realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam perumusan utmanya
teks atau konteks, sehingga masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada
konteks, meskipun disisi lain juga banyak yang memenangkan konteks. Di antara
keunggulan irfani adalah
bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi (ilham), lebih dekat
dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi
rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan bahwa indra manusia dan
pemikiran akalnya hanya menyentuh wilayah lahiriah alamnya, namun manusia dapat
berhubungan secara langsung yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam
(Allah) melalui dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat
berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk
ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah. ‘Irfani berfungsi untuk menemukan rahasia pengetahuan
melalui analogi berdasar angka, silogisme dan induksi serta surah. Contohnya
adalah pada pengalaman Rasulullah dalam menerima wahyu. Dalam perkembangannya
irfani dikembangkan untuk aplikasi analisis esotik-intuitif, makna hakikat atau
makna dibalik teks dan konteks. Meskipun pengetahuan irfani bersifat
subjektif, semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya setiap orang dapat
melakukannya dengan tahapan masing-masing, validitas kebenarannya bersifat
intrasubjektif dan akal berperan secara partisipatif. Sifat intrasubjektif
tersebut dapat diformulasikan dalam beberapa tahapan. Pertama, tahap persiapan diri dalam
memeroleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus diikuti agar siap
menerima "pengalaman". Kedua, tahap
pencerahan dan terakhir adalah tahap konstruksi. Tahap terakhir ini merupakan
upaya pemaparan secara simbolik ketika dibutuhkan, dalam bentuk uraian,
tulisan, dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperoleh dapat
diakses oleh orang lain.
Namun kendala atau keterbatasan irfani antara lain
adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang mampu sampai
pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, ‘Irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia
berdasar pada pengalaman individu manusia. Pendekatannya yang supra-rasional,
menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang
segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang
mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan
terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir
manusia. Pada dasarnya, bayani, irfani, dan burhani memiliki kesinambungan yang
tidak terpisahkan. Untuk memahami kesatuan ilmu secara utuh perlu menerapkan
ketiga hal tersebut. Sains modern tidak mengakomodir wahyu dan mengabaikan
bahkan menyangkal segala aspek yang bersifat metafisik, spiritual, dan estetis
jagat raya. Eddington dan Whithead menyatakan bahwa sains modern adalah jenis
pengetahuan yang dipilih secara subjektif karena hanya berurusan dengan aspek
realitas alam semesta yang dapat dipelajari oleh metode ilmiah. Sains modern
dibangun hanya dengan satu metodologi, yakni metodologi ilmiah, yang di
dalamnya terkandung unsur logika, observasi, dan eksperimentasi.
Asal Usul
Epistemologi Bayani.
Di penghujung abad pertama Hijriyah, telah terjadi
pemindahan ilmu-ilmu kuno dari Iskandaria, pusat perkembangan filsafat Hermes
ke dalam kebudayaan Islam Arab. Kehadiran ilmu-ilmu nonArab Islam ini
mengundang sikap anti pati ulama ahl al-sunnah awal karena dianggap
bertentangan dengan aqidah Islam. Ilmu-ilmu tersebut memasuki wilayah
kebudayaan Islam melalui penerjemahan. Kemapanan Pemerintahan Islam, terutama
pada masa pemerintahan Abbasiyah, memberi peluang yang luas bagi komunitas
Muslim untuk berkenalan dengan kebudayaan luar. Hal ini atas dukungan Khalifah
al-Mansur yang sangat respek terhadap ilmu pengetahuan. Sejak itu, Baghdad
telah banyak bersinggungan dengan filsafat Yunani. Ibnu Nadim dalam al-Fihrisat (pada masa kekuasaan
al-Makmun; 811-833.M) banyak sekali mengalihbahasakan tulisan Aristoteles. Ini
merupakan awal gerakan keilmuan yang menduduki posisi puncak dalam
pengalihbahasaan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab (al-ta'rib), bahkan di dalam
kebudayaan Arab Islam tulisan Aristoteles dianggap sebagai kitab induk sehingga
dalam al-Hikmah banyak sekali terkumpul manuskrip di dalamnya. Kronologi Bayani
paling tidak telah dimulai dari masa Rasulullah saw, dimana
beliau menjelaskan ayat-ayat yang sulit dipahami oleh sahabat. Kemudian para
sahabat menafsirkan al-Qur’an dari ketetapan yang telah diberikan
Rasulullah saw melalui teks. Selanjutnya tabi’in
mengumpulkan teks-teks dari Rasulullah dan sahabat, kemudian mereka
menambahkan penafsirannya dengan kemampuan nalar dan ijtihadnya dengan
teks sebagai pedoman utama. Akhirnya datang kemudian generasi setelah tabi’in
yang melakukan penafsiran sebagaimana pendahulunya sampai berkelanjutan kepada
generasi yang lain.
Sedangkan Aristoteles merupakan orang yang pertama
membangun epistemologi burhani yang populer dengan logika mantiq yang meliputi
persoalan alam, manusia dan Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika itu
dengan metode analitik. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa logika
Aristoteles lebih memperlihatkan nilai epistemologi dari pada logika formal.
Demikian pula halnya dengan diskursus filsafat kita dewasa ini yang melihat
persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan proposisi
metafisika karena epistemologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan pengetahuan
yang valid dan bangunan pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan duniawi
dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini bisa memilah-milah
masing-masing pendekatan epistemologik: bayani dan irfani karena masing-masing memiliki tipikal
satu sama lain, dan epistemologi burhani bisa menjadi pemoles keserasian hubungan antara kedua
epistemologi di atas.
Para pakar berbeda pendapat tentang asal mula sumber
irfani. Pendapat tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa poin sebagai
berikut:
1.
Sebagian golongan menganggap bahwa irfani berasal dari Persia dan Majusi
seperti yang disampaikan oleh Dozy dan Thoulk. Alasannya bahwa sejumlah
orang-orang besar sufi berasal dari Khurasan dan kelompok Majusi.
2.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa irfani bersumber
dari Kristen sebagaimana yang diungkapkan oleh Von Kramer, Ignaz Goldziher,
Nicholson dan yang lain. Alasan mereka paling tidak dapat dikelompokkan dalam
dua poin, yaitu:
a.
Interaksi yang terjadi antara orang Arab dan kaum
Nasrani pada masa jahiliyah
dan Islam.
b.
Kesamaan kehidupan antara sufi dan Yesus dan Rahib
dalam masalah ajaran, tata
cara riyadah, ibadah
dan tata cara berpakaian.
3. Sebagian
yang lain berpendapat bahwa irfani bersumber dari India seperti pendapat
Horten dan Hartman. Alasan yang diajukan adalah:
a. Kemunculan dan penyebaran irfani pertama dari
Khurasan.
b. Kebanyakan para sufi angkatan pertama bukan dari
kalangan Arab.
c. Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan timur dan
barat sebelum Islam
yang sedikit banyak memberi pengaruh mistisisme.
d. Konsep dan metode irfani seperti keluasan hati dan
pemakaian tasbih merupakan praktik-praktik dari India.
4. Sebagian yang lain berpendapat bahwa irfan berasal
dari Yunani, khususnya neo
platonisme
dan Hermes. Alasannya sederhana bahwa theologi Aristoteles merupakan
paduan
antara sistem porphiry dan proclus yang sudah dikenal dalam
Islam.
Namun
demikian, penulis cenderung berpendapat bahwa irfani tidak berasal dari luar
Islam sebab kehidupan Rasulullah saw. para sahabat dan tabiin menunjukkan bahwa
mereka dalam suatu waktu akan menggunakan irfani bahkan mempraktikkan irfani,
meskipun penamaannya belum ada.
Keunggulan dan Keterbatasan Bayani, Burhani dan
Irafani
Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi
yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja
dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada (bayani, burhani dan irfani),
dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual
dan corak berpikir irfani (kasyf)
yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada
penggunaan rasio secara optimal. Keunggulan bayani terletak pada kepada
kebenaran teks (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam yang
bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Dalam
epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio, akan tetapi relatif sedikit
dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas
epistemologi ini telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena
ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi
bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal
menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara
sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks. Sistem berpikir yang
konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan
beberapa premis merupakan keunggulan epistemologi
burhani. Namun Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan
pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk
ijtihadnya akan berbeda jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks.
Masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun yang lebih
cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.
Di antara
keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang bersumber dari
intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu
yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan
sufi menyatakan bahwa indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh
wilayah lahiriah alam dan manifestasi-manifestasinya, namun manusia dapat
berhubungan secara langsung (immediate) yang
bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam (Allah) melalui dimensi-dimensi
batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah
suci, lepas, dan jauh dari segala bentuk ikatan-ikatan dan
ketergantungan-ketergantungan lahiriah. Namun kendala atau keterbatasan irfani
antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia yang
mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani
sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu
manusia. Metode kasyf dalam kritik epistemologi,
bukanlah suatu pola yang berada di atas akal, seperti yang diklaim irfaniyyun.
Bahkan ia tidak lebih dari sekedar pemikiran yang paling rendah dan bentuk
pemahaman yang tidak terkendali. Irfaniyyun masuk ke alam mistis yang telah ada
dalam pemikiran agama-agama Persi kuno, yang dikembangkan pemikir-pemikir
Hermeticism. Apa yang mereka alami “ mungkin benar “ atau barangkali
“kebenaran karena kebetulan “, akan tetapi tidak akan dapat menyelesaikan
masalah. Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta
pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus
berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini
kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar
pada kemunduran pola pikir manusia.
Nalar Bayani
Kata
Bayan yang terdiri dari
huruf-huruf ba - ya - nun, secara
lughawi mengandung lima pengertian; l) al-washl,
2) al-fashl, al-bu'du dan
al-firaq, 3) al-zuhur dan al-wuduh, 4) al-fashahah
dan al-qudrah dalam
menyampaikan pesan atau maksud, 5) manusia yang mempunyai kemampuan berbicara
fashih dan mengesankan.[10]
Dalam wacana tafsir, kata Baydn ini
dipahami oleh para mufasir dalam arti yang berbeda-beda, yaitu dalam
mengartikan kata Bayani yang
ada dalam surat al-Rahman ayat 4. al-Alusi, misalnya dalam tafsir Riih al-Ma'dni, menafsirkan bayan adalah berbicara fashih dalam mengungkapkan
isi hatinya. Selain itu, al-Baydn juga
berarti kebaikan dan kejelekan, atau jalan petunjuk dan jalan kesesatan, atau
ilmu dunia dan ilmu akhirat, atau nama-nama segala sesuatu, atau juga berbicara
dengan bahasa yang bermacam-macam. Tidak jauh berbeda dengan pendapat ini
adalah apa yang dikatakan oleh al-Razi, yaitu bahwa Bayan adalah pandai berbicara sehingga orang lain dapat
memahaminya. Namun demikian, Baydn juga
berarti al-Qur'an itu sendiri, karena al-Qur'an juga disebut al-Baydn.4 Sementara itu, al-Syaukani
memaknai Baydn sebagai kebaikan
dan kejelekan, dan bisa juga berarti penjelasan tentang yang halal dari yang
haram. Dalam perspektif linguistik, suatu perspektif yang berbeda dengan apa
yang dikemukakan oleh para mufasir di atas, Syed Muhammad Dawilah al-Edrus
membedakan secara hirarkhis Baydn dengan
Lisdn dan Kaldm. Dalam perspektif ini, Baydn merupakan kemampuan mengartikulasi
melalui tanda-tanda atau simbol-simbol. Kemampuan ini bersifat universal,
dimiliki oleh semua manusia, dan secara historissosiologis kemampuan
mengartikulasikan tanda-tanda ini telah diekspresikan manusia dalam
bahasa-bahasa tertentu. Sedangkan Lisdn
adalah bahasa, baik itu bahasa Arab, Persi, Yunani, dan bahasa-bahasa lainnya
yang ada di dunia ini. la merupakan bahasa yang dipakai oleh masyarakat
tertentu, bersifat khusus dan unik. Oleh karenanya, Lisdn terkait erat dengan dimensi social dan budaya. Kemudian Kaldm adalah pembicaraan antara
seseorang dengan pasangannya bicaranya. Suatu pembicaraan (Kaldm) dimungkinkan terjadi antara
seseorang dengan patnernya dalam kerangka pembicaraan yang disampaikan dalam
satu bahasa (Lisdn). Dari sini,
secara hirarkhis dapat dipahami bahwa Baydn
itu bersifat umum (universal), yang kemudian diturunkan dalam bentuk Lisan
atau bahasa-bahasa tertentu, dan lebih khusus lagi, ini dijadikan wadah oleh
seseorang dengan patnernya dalam pembicaraan-pembicaraan (Kalarri) tertentu. Imam al-Syafi'i
mengklasifikasikan Bayan dalam
al-Qur'an menjadi lima tingkatan. 1) Bayan
yang tidak memerlukan Bayan, karena
sudah jelas dengan sendirinya. 2) Bayan
yang sebagiannya masih samar (mujmal)
lalu dijelaskan oleh sunah. 3) Bayan
yang semuanya masih samara, dan kadang-kadang dijelaskan oleh sunah. 4) Bayan sunah, yang mana kita wajib
memeganginya karena Allah telah memerintahkan kita agar taat kepada Rasulullah.
5) Bayan ijtihad, yang
diperoleh melalui qiyas terhadap apa yang sudah ada dalam al-Quran dan sunah. Inilah
klasifikasi Bayan dalam wilayah
ushul fiqh. Dari tingkatan Bayan ini,
al-Syafi'i menyimpulkan tiga "ushul", yaitu al-Qur'an, sunah, dan
qiyas. Kemudian ditambah satu dasar lagi yang keempat yaitu ijma'. Dalam
kerangka ini, ijma' dipandang lebih kuat dari pada qiyas, karena qiyas
merupakan ijtihad individual, sedang ijma' merupakan kesepakatan para mujtahid,
sehingga, secara hirarkis keempat ushul itu menjadi: al-Qur'an, sunah, ijma',
dan qiyas. Atau dapat dipilah lagi secara fundamental menjadi dua ushul, nash
(al-Qur'an dan sunah) dan ijtihad (ijtihad jamaah dan ijtihad individual). Qiyas
dalam pandangan al-Syafi'i berarti pencarian melalui tandatanda, suatu
penyingkapan hukum yang secara praktis ada dalam nash yang masih tersembunyi,
seperti persoalan menghadap ke arah kiblat bagi orang yang jauh dari Masjid
al-Haram, maksudnya pada kondisi di luar jangkauan indera.
Inilah
awal pengertian qiyas dalam bentuknya yang pertama, yakni perpindahan dari
tanda atau penunjuk (dalil) kepada
yang ditunjuk atau hukum (madlul). Dalam
hal ini, ada dua pola signifikasi (dalalah]
dalam al-Qur'an. Pertama, signifikasi
penjelasan
(dalalah
ibanafi), dan kedua, signifikasi penunjukan (dalalah isydrak). Apa yang
dihasilkan oleh qiyas dengan kedua pola dalalah
ini terbatas pada
keserupaan dan kemiripan (al-mumdtsalah
dan al-musyabahah) terhadap realitas yang dicari hukumnya melalui
prosedur qiyas. Kemiripan ini
didasarkan kepada kuantitas, seperti hubungan yang sedikit dengan yang banyak dalam hukum pelarangan (al-tahrirn). Apabila yang sedikit
haram, maka yang banyak pun haram. Namun
demikian, relasi ini harus dipahami terbalik dalam penetapan hukum mubah dan halal. Artinya membolehkan
yang banyak berarti membolehkan yang
sedikit, tetapi tidak selalu benar untuk kebalikannya.
Bagi
al-Syafi'i, qiyas yang merupakan ijtihad yang sebenarnya adalah qiyas al-aula, yakni qiyas yang
didasarkan atas kemiripan fakta baru dengan dua fakta hukum dalam nash dengan
membedakan sisi kemiripan salah satu dari kedua fakta tersebut yang kemudian
ditentukan mana di antara kedua sisi kemiripan itu yang lebih utama menjadi
obyek qiyas. Dalam pandangan al-Jabiri, qiyas (analog) menempati posisi sentral
dalam sistem pemikiran Bayani, yang
tidak saja teraplikasikan dalam lapangan fiqh, namun juga dalam bidang bahasa
(balaghah dan nahwu) dan kalam. Dalam fiqh, qiyas dimaksudkan untuk mencari dan
menetapkan hukum baru (far'uri) dengan
jalan merujuk secara analogis pada hukum ashl
(hukum yang telah ada dalilnya dalam nash). Namun demikian, lompatan
metodologis dari hukum ashl ke
hukum far'un ini oleh sementara
golongan (syi'ah dan Zahiriyah) diklaim sebagai didasarkan atas prasangka
mujtahid, bukan sesuatu yang yaqin, qath'i.
Dalam bidang nahwu, qiyas mengambil bentuk "mengikuti" (itbat) yang sifatnya juga masih
prasangka, yaitu bahwa bahasa Arab itu
tauqifi, berasal dari Allah,
atau hasil kerja kelompok hukama' yang diilhami oleh Allah. Tugas kita
hanya tinggal mengikuti saja. Dari 70
sini bisa dipahami bahwa baik dalam fiqh maupun nahwu ada semacam rekayasa untuk mengambil kemutlakan
al-Quran, sehingga ilmu yang dibangunnya ini bersifat mutlak juga. Sementara itu, dalam bidang kalam, mutakallimun mengganti istilah qiyas
dengan istidlal. Hal ini karena
qiyas dipandang mengandung makna keserupaan, sedang menyerupakan Allah dengan
manusia atau alam merupakan suatu hal yang tidak bisa diterima. Ini dari segi teologis-agamis,
dan dari segi epistemologis, istidlal dimaksudkan
sebagai argumentasi atau penggunaan dalil untuk sampai pada ma'rifatullah. Secara umum, menurut
Hasan Hanafi, makna istidlal itu
sendiri adalah cara perpindahan dari premis-premis ke konklusi. Dalam hal ini,
ada beberapa cara dalam istidlal. Pertama,
al-istidl&l dari yang umum
(universal) ke yang khusus (partikular). [11]Cara
inilah yang disebut dengan qiyas. Dalam konteks ini perpindahan dari zat Allah
yang dianggap bersifat universal ke yang lainnya dianggap sempurna. Namun, pada
prinsipnya hal ini tidak mungkin, karena zat Allah tidak mungkin diketahui,
apalagi jika isft'd itu diterapkan dari hal-hal yang lebih khusus (partikular).
Dengan demikian al-qiyas al-manthiqi dalam
pengertian ini tidaklah dimungkinkan pemakaiannya untuk mengetahui zat Allah. Kedua, istidlal dari yang khusus ke
yang umum, atau istiqrd'. Jika istiqra' sempurna maka disebut istidlal yaqin, jika tidak sempurna dinamakan
istidlal zhanni; yaitu cara
perpindahan dari manusia ke Allah atau dari yang khusus ke umum yakni cara tasybih (penyerupaan), atau
menganalogikan hal-hal yang gaib terhadap yang riil. Namun demikian, tidaklah
dimungkinkan metode istiqra' itu
sempurna karena manusia sebagai hal yang khusus tidak bisa diinduksikan untuk mengetahui
zat Allah; yang bisa dilakukan hanyalah perpindahan dari yang khusus (manusia)
ke yang khusus semisalnya, masih dalam kategori alam dan tidak keluar dari alam
tersebut. Ketiga, istidlal dari
yang khusus ke yang khusus, yang dinamakan dengan al-tamtsil, atau qiyas
al-fiqhi, atau bertemunya dua hal yang khusus dalam 'illat hukum. Model penalaran ini
bisa diterapkan pada sesuatu benda dan perbuatan, tetapi hal ini tidak mungkin
untuk mengetahui zat Allah, karena Allah bukan sesuatu yang partikular, dan demikian
juga tidak bisa dianalogikan dengan yang partikular. Jika dicermati lebih
mendalam lagi, akan tampak lebih jelas lagi
adanya saling keterhubungan di antara
ketiga wilayah di atas, nahwu dan ilmu-ilmu ushul (ushul fiqh dan ushuluddin)
dengan qiyas sebagai model penalarannya. Dalam nahwu ada upaya untuk
menganalogikan al-ism terhadap al-fi'l, khususnya JH al-mudlari dan kemudian
menganalogikan al-fi'l terhadap
al-shifah, suatu bentuk
"qiyas yang bertingkat". Model ini ditarik dari far' terhadap ashl dalam ushul fiqh. Dalam kacamata Ibnu Mudha', ism menempati
posisi yang utama. Kemudian disusul oleh shifah
dan terakhiran dalam sistem qiyas bertingkat. Hal ini disejajarkan
dengan tinjauan kalam yang memetakan: zat, sifat, dan perbuatan dalam kaitannya
dengan Allah. Dengan demikian, Bayani sebagai
suatu sistem pemikiran, dapat dipahami sebagai suatu episteme yang menjadikan
nash (al-Qur'an dan 72 hadis), ijma', dan qiyas sebagai sumber dasar dalam pengetahuan,
terutama dalam menggambarkan ajaran-ajaran Islam. Dalam konteks ini, nalar Bayani bertumpu pada pemeliharaan
teks (nash), dan oleh karenanya, aktivitas intelektualnya berada dalam hegemoni
al-ashl, dan nalarnya
terkungkung dalam tiga pola pemikiran yaitu, al-istinbath, al-qiyas,
dan al-istidlal yang
banyak teraplikasikan dalam ilmu nahwu, balaghah, fiqh, dan kalam. Secara umum,
Bayan sebagai epistemologi
keilmuan Islam setidaknya mempunyai tiga prinsip pokok. Pertama, prinsip infishal
(keterputusan dan ketaksalingberhubungan) yang dibangun dari teori atomisme
yang dilontarkan oleh Mu'tazilah dan kemudian diadopsi oleh aliran Asy'ariyah.
Sebagaimana diketahui teori ini menegaskan bahwa segala sesuatu dan semua
peristiwa di alam semesta ini secara substansial bersifat terputus-putus. Tidak
ada kaitan antara sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, antara peristiwa dengan
peristiwa yang lainnya, dan termasuk juga dalam hal perbuatan manusia tidak ada
hubungan antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lainnya, kecuali melalui
kehendak Ilahi. Dalam kerangka ini, teori atomisme menafikan hukum kausalitas. Kedua, prinsip tajwiz (keserbamungkinan). Sebagai
konsekuensi teologis dari prinsip infishal
melahirkan prinsip keserbamungkinan ini. Karena kehendak dan kekuasaan
Allah itu tidak terbatas dan tidak ada yang membatasinya, maka secara logis
dimungkinkan untuk mengakui bahwa Allah bisa saja berbuat di luar hukum
kebiasaan atau hukum kausalitas. Allah bisa saja mempertemukan antara dua hal
yang bertentangan. Mempertemukan antara kain dengan api tanpa terjadinya proses
pembakaran pada kain tersebut, atau bisa juga menyatukan antara sifat
mengetahui sesuatu dengan kebutaan. Kemudian prinsip yang ketiga adalah prinsip qiyas
(analogi). Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa qiyas berfungsi
sebagai perangkat metodologis, yaitu menganalogikan satu cabang hukum dengan
hukum asal sebagaimana berlaku dalam
fiqh. Atau menganalogikan dunia gaib dengan dunia nil sebagaimana berlaku dalam
tradisi kalam. Di dunia Islam banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan. Secara umum
studi Islam tak dapat disangkal keberadaannya sejak masa awal, namun para ahli
berfikir bahwasannya studi Islam tidak bisa dimasukkan dalam ilmu pengetahuan. Karena
dari segi sifat maupun karakteristik berbeda. Seperti dalam Islam manusia
awalnya dari nabi Adam tetapi dalam ilmu pengetahuan manusia berawal kera. Ada
banyak tahap yang dilalui dalam budaya pemikiran Islam salah satunya yaitu: periode klasik . Dimana masa ini berawal pada
zaman nabi hingga masa abbasiyah. Masa
perkembangan maupun perluasan itu terjadi pada periode klasik. Periode adalah
masa dimana masa itu sudah teramat lampau tetapi keberadaannya tetap diingat
sepanjang waktu. Periode klasik adalah
periode dalam Islam berbeda dengan periode klasik Barat. Dunia Islam
menganggap, periode klasik dimulai pada zaman Rasulullah, sedangkan pada masa
klasik Barat dimulai di Yunani.[12]
KESIMPULAN
Ilmu
adalah suatu kumpulan dari sebuah pengetahuan untuk menyelidiki ataupun
meningkatkan suatu paham dalam kehidupan manusia di muka bumi ini. Sedangkan
islam itu sendiri adalah suatu agama umat muslim yang dipercaya sebagai agama
yang suci, yang didalamnya terdapat suatu kepercayaan akan adanya Allah SWT.
Juga kepada makhluk-makhluk ciptaan-NYA. Banyak juga pendapat dari para ilmuwan
muslim yang membahas tentang ilmu dan islam itu sendiri, ilmu dan islam itu
sendiri juga saling berkaitan, karena ilmu duniawi akan lebih bagus ketika didalamnya
juga terdapat kajian tentang ilmu-ilmu akhirat.
DAFRAR PUSTAKA
Abdullah Ahmad An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civic liberties,
Human Right and
International Law. New York: Syracuse University Press, 1990.
Abdullah, Amin. “Desain Pengembangan Akademik IAIN
Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari
Pendekatan Dikotomis-Atomistis ke Arah
Integratif-Interdisiplinary”, dalam Zainal Abidin
Bagir, Integrasi
Ilmu dan Agama. Bandung:
Mizan, 2005.
Abdullah, M. Amin. “Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman: Kajian
Pendahuluan”, dalam Seminar
Nasional
Pengujian Teori. STAIN Kudus, 12 Maret 2001.
Abdullah, M. Amin. “Membangun Kembali Filsafat Ilmu-Ilmu
Keislaman: Tajdid dalam Perspektif
Filsafat Ilmu”, dalam, Tajdid Muhammadiyah untuk Pencerahan Peradaban. Yogyakarta:
MTPPI dan UAD Press, 2005.
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1995. Islamisasi Pengetahuan. Terj. Anas
Mahyudin. Bandung: Penerbit Pustaka.
Husaini, Adian. 2013. Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam.
Jakarta: Gema Insani Press.
Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Integrasi Ilmu, Sebuah Rekonstruksi
Holistik. Bandung: Mizan.
Mohammad Kosim, Ilmu Pengetahuan Dalam Islam
(Perspektif Filosofis-Historis), Tadrîs. Vol. 3, No. 2,
2008.
Khotimah, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Pendidikan
Islam, Jurnal Ushluddin Vol. 22, No. 2,
(Jul 2014).
[1] Dr. Ir. Amiruddin Saleh, “Pengertian, Batasan, dan Bentuk Kelompok,” Hal.2.
[2] Dr. Ir. Amiruddin Saleh, “Pengertian, Batasan, dan Bentuk Kelompok,” Hal.4.
[3] Dr. Ir. Amiruddin Saleh, “Pengertian, Batasan, dan Bentuk Kelompok,” Hal.5.
[4] Dr. Ir. Amiruddin Saleh, “Pengertian, Batasan, dan Bentuk Kelompok,” Hal.7.
[5] Majma’ al-Lughah al-’Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasi>t}, (Istanbul: Da>r al-Da’wah,
1990), 624.
[6] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan
Islam Syed Mohd.
Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy, dkk, (Bandung:
Mizan, 2003), 144. Lihat juga Abdul
Hamid Rajih al-Kurdi, Naz}ariyyah al-Ma’rifah baina
al-Qur’a>n wa al-Falsafah, (Riyadh:
Maktab Muayyad wa al-Ma’had al-‘A<li li al-Fikri al-Isla>mi>, T.Th.), 33.
[7]Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perspektif Barat
dan Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2013), 88-89.
[8] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu..., 54.
[9] SM. Al-Attas, Islam and Secularism, 42-43
[10]Pengertian
ini tersebut dalam kitab "Lisan al-Arab". Selanjutnya lihat,
Muhammad Abid
al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li
Nudhumi
al-Ma'rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyah, (Beirut: Markaz
Dirasat al-Wihdah
al-Arabiyah,
1990), p. 16-19. Namun demikian, dalam sistem pemikiran Bayani
bisa dibedakan
antara Baydn sebagai metode dan pandangan (ru'yah). Yang pertama
berarti al-fashl dan al-izhar, sedang yang kedua berarti al-infishal dan alzuhur.
[11] Al-Jabiri, Bunyah..., p. 23
[12]Pembahasan
khusus tentang Islamic studies ini dalam Amin
Abdullah,
“Pengembangan Metode Studi Islam”, jurnal
Tarjih, edisi ke-6,
Juli 2003, hlm.
15-16, Muhammad Azhar, Metode Islamic Studies:
Studikompratif
Antara Islamizatio of Knowledge dan Scientification of
Islam, Mukadimmah, Vol. 15, No. 26, (Jan-Jun 2009), hlm. 61.
Post a Comment for "PENGELOMPOKKAN KEILMUAN DALAM ISLAM: PERSPEKTIF BAYANI"